6. Pelangi

941 144 13
                                    

"Sudah ku katakan menjadi sosok semu itu tidak menyenangkan," -ap(njm)

_o0o_





Seperti pelangi yang datang hanya sesaat dan seperti buku yang akan habis jika dibakar. Begitulah hidup, kadang kita bahagia, kadang sedih.

Tuhan memang adil dalam memberi. Namun, aku sering berpikir bahwa tuhan tak adil padaku.

Warna menentukan bagaimana hati kita. Aku berharap bahwa warna hitam pada diriku berubah menjadi warna pelangi. Aku ingin merasakan banyak warna di hidupku.

Pernahkah kalian juga berpikir sama sepertiku, menghilang dari dunia dan kembali menjadi sosok baru yang berbeda.

Membayangkannya saja membuatku bahagia. Akankah kehidupan baruku akan jauh menyenangkan atau malah lebih buruk? Aku tak tau pasti tapi aku berharap itu menyenangkan.

Kata nenek hidup itu memang berat dan penuh kejutan jadi kita tidak tau pasti apa yang akan terjadi, kita hanya dituntut untuk menjalaninya sesuai perintah.

Ngomong-ngomong tentang nenek membuatku jadi merindukannya. Bagaimana kiranya keadaan beliau di sana. Apa dia bahagia melihat cucunya ini tumbuh dengan baik atau sebaliknya?

Di sini lah aku, duduk sendiri memandang langit yang baru saja hujan ditemani susu coklat panas. Ngomong-ngomong aku sudah pulang dari rumah sakit kemarin. Sebenarnya Rendi mengajakku untuk tinggal di rumahnya tapi aku menolak. Kemarin Rendi juga yang membayar rumah sakitku. Aku mau menolak tapi Rendi tetap bersikeras untuk membayarnya. Rendi terlalu baik kepadaku, entah sudah berapa kali ia menolongku. Aku seperti memanfaatkannya kalo begini.

Rendi selalu berkata kepadaku, "Anggap saja ini sebagai balasanku karna kau telah membantuku keluar dari dunia gelapku dan menjadikanku sadar bahwa bukan hanya aku yang menderita di sini tetapi ada orang lain,"

Aku ingin membantah pun rasanya percuma. Dia itu keras kepala dan tidak menerima penolakan.

Matahari mulai terlihat kembali, membawa kehangatan yang sempat hilang. Bersamaan dengan itu, pelangi pun ikut muncul. Ini lah yang paling aku suka setelah hujan turun. Tujuh warna pelangi menghiasi langit. Buru-buru ku keluarkan handphoneku dan mengambil gambarnya. Aku tersenyum senang.



"Fano ada di rumah?"

"Ada, masuklah! Dia ada di kamarnya,"

Tanpa mengucapkan apa-apa dia langsung berlalu dari hadapanku. Aku tersenyum kecut melihatnya. Aku pergi ke dapur untuk mengambil minum, niatnya memang tadi aku mau ke dapur tapi tadi bel berbunyi jadi aku putuskan untuk membukanya dulu dan ternyata Haikal yang datang untuk menemui Fano.

Saat akan berbalik ke kamar, aku berpapasan dengan Fano dan Haikal yang sepertinya akan keluar. Aku ingin bertanya mau ke mana mereka tapi mereka keburu pergi.

"Mau kemana sebenarnya mereka?" monologku.

Cring cring~

Segera ku raih ponselku, ternyata Rendi yang menelpon.

"Kau di rumah?"

"Heum, kenapa memang?"

"Sendiri?"

"Seperti biasa, ada apa Ren?"

"Aku ke sana ya, aku bosan di rumah,"

"Datang saja, kau kan sudah biasa begitu,"

Ku dengar suara kekehan di seberang sana sudah bisa ditebak kalo itu suara Rendi.

"Aku akan segera sampai, bye bye Nana muach,"

Aku bergidik ngeri dengar ucapan Rendi di akhir. Sudah biasa sih tapi tetap saja, aku ini lelaki normal yang geli mendapat perlakuan seperti itu apalagi dari laki-laki. Ingatkan aku untuk memukul Rendi nanti.



"Lama sekali kau membuka pintunya,"

"Masih untung ku bukakan,"

"Kemana semua orang?"

"Ayah dan ibu seperti biasa bekerja sedangkan Fano pergi bersama Haikal entah ke mana,"

Rendi hanya ber-oh ria. Menyesal ku memberitahunya jika responya hanya begitu.

"Na,"

"heum?"

"Haus, boleh minta minum?"

"Ambil saja di dapur,"

Setelah mendengar ucapanku tadi Rendi langsung pergi ke dapur. Aku masa bodo, fokusku kembali ke acara tv di depanku.

Ku dengar ada langkah mendekat, sudah bisa ku tebak kalo itu adalah Rendi. Kepalanya ia sandarkan di bahuku. Bibirnya menggerucut lucu.

"Kau kenapa?"

"Ayah menelponku dan memintaku untuk ke London secepat mungkin,"

"Untuk apa?"

"Katanya aku harus mengurus perusahan di sana. Kau tau kan Na kalo aku tidak suka bisnis, lagian aku ini mau jadi dokter biar bisa sembuhin kamu tapi ini malah di suruh ngurusin perusahan gak jelas. Males banget,"

Aku tertawa melihat eksperinya saat bicara. Itu terlihat lucu sungguh.

"Kau turuti saja, mau bagaimana pun kau satu-satunya anak mereka. Kau yang akan mengurus perusahan itu kelak. Hitung-hitung kau belajar dari sekarang dan untuk menjadi dokter kau kan bisa melakukannya bersamaan dengan kau mengurus perusahan itu,"

"Tapi bagaimana denganmu?"

"Aku? Ada apa denganku?"

"Ish, kalau aku pergi kau dengan siapa Adiyana Pratama,"

"Ada ayah, ibu, Fano, Paman dn Bibi,"

"Kau mengandalkan mereka? Kalau paman dan bibimu aku percaya tapi ketiga iblis itu? Kau bercanda?"

"Mereka keluargaku Ren, berhenti menyebut mereka iblis. Mereka itu manusia, kau tau itu,"

"Aku tak peduli,"

Aku hanya bisa menggelengkan kepala melihat reaksi Rendi. Aku yang diperlakukan buruk kenapa dia yang kesal coba. Sudahlah suka-suka Rendi saja.



_o0o_
@tbc...

Makasii buat yang udah sempatin baca cerita aku ini. Aku tau cerita aku ini terlalu flat tapi aku punya harapan semoga cerita ini di sukai banyak orang. Aku bakal berusaha lebih keras lagi biar cerita ini lebih menarik. Mohon bantuannya ya teman-teman😊

Maaf kalo banyak typo ya. Jangan lupa voment, karna dukungan kalian berarti banget buat aku.

See you di chap selanjutnya😁

02/02/2021
©choe_

Bayangan | Na JaeminWhere stories live. Discover now