01. Awal

137 15 7
                                    

"Jung, kamu ini kenapa nekat sekali? Ibu, 'kan, sudah melarang kita bertemu untuk sementara waktu sebelum hari pernikahan."

Gerutuan si gadis membuat Jungkook meloloskan kekehan renyah—mengisi seluruh kehampaan di area dapur. Lekas ia menopang dagu, lamat-lamat di tatapnya si gadis dengan penuh rasa sayang menggelayuti.

Jungkook tau jika Ae-ri tengah kesal padanya karena melanggar wejangan sang ibu tentang logika pra-nikah. Pasangan yang akan menikah sengaja tidak dipertemukan untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan. Begitulah kiranya ibu memberi wejangan. Yang artinya, dia tidak boleh bertemu dengan calon istrinya sebelum hari pernikahan.

Tetapi yang terjadi malah sebaliknya. Jungkook bukannya tidak ingin menghargai sang ibu, hanya saja baginya wejangan itu tidak masuk akal---karena menurutnya sah-sah saja jika dia ingin menemui Ae-ri, mana mungkin terjadi hal buruk. Dan ayolah, Jungkook semakin tidak mengerti---kenapa orang orang masih mempercayai hal kuno terlampau aneh seperti itu? Konyol sekali, pikirnya.

"Tentu saja aku nekat. Lagi pula apa salah menemui calon istri sendiri? Itu bukan sebuah dosa." Jungkook menyunggingkan senyum yang malah dibalas delikkan tajam.

"Memang bukan dosa. Tapi, 'kan, apa salahnya kita menurut saja. Maksudku hargai mereka, lagipula tidak begitu lama; hanya seminggu... dan lusa kita juga menikah. Kamu bisa melihatku setiap hari, sepuasmu." Ae-ri menanggapi, kemudian meraih toples berisi garam untuk membubuhi makanan yang tengah dimasak.

"Sayangnya untuk yang satu ini, aku tidak bisa." Balik membalas, kini Jungkook tergerak mendekat ke arah gadisnya yang sibuk membumbui masakan. Tadinya Jungkook memang sengaja ingin menemui Ae-ri, berencana mengadakan kencan manis. Tetapi urung, sebab begini saja sudah cukup.

"Ah, kamu ini memang bebal, ya!" Ae-ri membuang nafas jengah. Menyerah lebih baik, tidak mungkin dia bisa menentang sikap keras kepala si pria gigi kelinci itu. Dan ya, Jungkook itu semacam spesies yang jikalau diberitahu akan masuk dari telinga kanan lalu keluar dari telinga kiri. Atau bahkan---terkadang tidak masuk dari celah manapun, alias tidak didengar.

"Aku hanya takut ketahuan Mama," lanjutnya kemudian.

"Tidak akan, tenang saja. Mama dan Ibu sedang mengurus persiapan pernikahan kita lusa nanti. Aku akan pulang sebelum mereka pulang." Mengulas kurva melengkung, lekas ia bawa Ae-ri untuk menghadap padanya. Iris kelamnya kembali menatap Aeri bersama perasaan hangat yang menjalar.

"Oiya, Jung. Omong-omong, coba ceritakan bagaimana bisa kamu sampai sini? Bukankah Kak Seokjin selalu mengawasi-mu?" Aeri melempar tanya, mengundang ker-nyitan di dahi pria itu.

Sebetulnya Ae-ri sedikit penasaran, karena seingatnya Jungkook pernah bilang jika sang kakak, Seokjin---tidak pernah bisa lepas darinya. Mengintai setiap gerak si adik seperti melihat pencuri; yang jikakalau dilepas akan berakibat buruk. Bahkan, dua hari yang lalu ponsel milik Jungkook sempat disita oleh Seokjin karena memergoki adiknya yang tengah meneleponnya. Walaupun tidak lama, hanya disita semalam saja. Dan besoknya Seokjin memperingati dirinya untuk tidak mengangkat telepon dari adiknya, menyuruh agar patuh akan perintahnya.

Jika dipikir-pikir Seokjin itu menyeramkan saat dalam mode serius, terlebih lagi ketika marah. Ae-ri jadi menerka-nerka bagaimana raut wajah Jungkook kala sang kakak memergokinya.

"Betulan ingin tau?" mengangkat alis menggoda. Jungkook dibuat terkekeh melihat anggukan antusias dari Ae-ri. "Aku ceritakan, tapi---" Sedikit menoleh ke arah masakan panas dalam wajan di atas kompor, "setelah kamu selesai. Aku lapar." Kemudian Jungkook menjauh, kembali duduk di kursi pantry.

Ae-ri mengambil mangkuk untuk menghidangkan tteopokki buatannya yang langsung disambut binar bahagia oleh si Kim. Astaga, lihat lucunya! Segera mengambil tempat di samping kanan dekat Jungkook, ia ikut memakan hidangan pedas itu bersama.

Endings, Beginnings.Where stories live. Discover now