10. Tentang Kim | bagian dua

26 8 2
                                    

Seharusnya Seokjin memberi jeda untuk mengumpulkan kontrol akan dirinya. Hanya, sayangnya tadi itu untuk sekedar mengatur napas teratur saja kewalahan. Seokjin tahu, tidak sepatutnya ia kelepasan bicara gamblang dan ketus pada Ae-ri. Namun ia tidak bisa menahan perasaan sesak yang hinggap; otaknya mengirim sinyal tanda krisis yang tak bisa ditahan dan berakhirnya kata-kata dingin itu betulan diluar kendalinya.

Seokjin jarang sekali menunjukkan roman tidak bersahabat pun tutur yang sama sekali tidak lembut. Sungguh dirinya tidak mempunyai maksud demikian, tidak untuk melihat Ae-ri tercenung manakala kalimat ketidaksukaan dilanting olehnya, juga tidak untuk melihat daksa ringkih itu menghilang dalam pandangannya dengan tidak baik. Kendati jika saja Ae-ri tidak memunculkan kembali memori yang sengaja ditutup rapat olehnya---mungkin seluruh kesalahan ini tidak akan tercipta. Padahal baru sebentar Seokjin pikir semua sudah baik-baik saja.

Dan dibalik semua alasan itu---Seokjin akui tak ada pembelaan terhadap sikapnya untuk hal-hal yang tidak diketahui oleh Ae-ri. Dirinya salah, cukup, dan Ae-ri hanya tidak paham.

Seokjin menyesal, tentu saja. Manusia memang begitu, bukan? Lantas usai menuntaskan urusan dalam layar pancaran biru itu---yang saat itu selesai pukul dua dini hari. Seokjin tentunya tidak membutuhkan waktu selama itu untuk menyelesaikan pekerjaannya, namun ia terlalu banyak ambil rehat apalagi selepas ini-itu yang terjadi. Menghirup udara khidmat yang kiranya dalam setiap embusan napas---ia keluarkan pula angkara yang terjejal di dada. Dua butir obat diikut-sertakan untuk mengusir pening juga sesak yang tidak habis-habisnya.

Saat ini tangannya sudah sangat siap untuk mengetuk pintu pun mulutnya sudah terbuka, tetapi mengetahui gulitanya kamar Ae-ri dalam kesenyapan ketika ia mengintip dicelah bawah---Seokjin pilih untuk memutar kenop. Tungkainya mendekat secara pelan, mendekati ranjang dan mendudukkan diri.

Wajah permai Ae-ri dengan mata tertutup menjadi tontonan dirinya. Walaupun kurangnya penerangan, ia masih bisa leluasa mematai seluruh wajah si gadis. Sejenak ia menyingkap helaian rambut Ae-ri yang nakal memenuhi sebagian wajah.

Seokjin mendengkus pelan.

Mendadak lucu mengingat Jungkook yang selalu bicara ini itu tentang gadisnya ini. Tetapi kini ia mengetahui apa kira-kira yang membuat adiknya sangat cinta.

Dua detik kemudian, Seokjin buang napas pelan. Mengurungkan niat untuk meluruskan segala perihal tadi. Lalu menarik selimut hingga semenjana leher. Bibirnya membentuk kurva sebab Ae-ri nampak lucu sekali, dipeluk nyaris seluruhnya oleh selimut tebal.

"Tidur yang nyenyak ya, Ri." bisiknya tatkala menyeret pintu hingga akhirnya presensinya benar-benar lenyap bersama pintu yang tertutup sempurna.

***

Pagi ini rumah amat tenang---ralat, amat sepi. Tidak ada ketukan pintu serta panggilan yang membangunnya Ae-ri. Tidak ada panggilan sarapan. Ae-ri bahkan tidak mencium aroma makanan yang sedang dimasak, padahal biasanya tidak pernah absen dirinya terbangun saat cacing-cacing perutnya memberontak oleh menyeruaknya harumnya makanan di seluruh rumah.

Tatkala menuruni tangga, langkahnya sedikit melambat lalu akhirnya berhenti. Matanya memandang pada dapur---lebih tepatnya ke meja makan lama sekali. Tidak ada aroma makanan, berarti tidak ada yang memasak, itulah mengapa meja makan kosong. Alasannya hanya satu; pastilah Seokjin masih menyimpan angkara padanya. Bahkan dirinya tidak menemukan Seokjin dimana pun. Kamarnya pun tidak bertuan. Mungkin Seokjin sengaja pergi pagi sekali supaya tidak bersua dengannya.

Ae-ri mengambil napas banyak-banyak, mengeratkan pegangan pada tas selempang kecilnya. Entah bagaimana ia harus memulai, tadi malam saja atmosfer begitu canggung sampai-sampai rasanya tenggorokan Ae-ri tercekik. Tatapan Seokjin yang begitu tajam layaknya pisau yang menusuk, sangat mengintimidasi penuh penekanan. Ae-ri maklum dengan semua itu. Dekat bukan berarti akrab. Tidak seharusnya ia mengusik privasi Seokjin. Itu semua bukanlah ranahnya. Salahkan saja jiwa penasaran terkutuk dalam dirinya. Bagaimana pun kehidupan Seokjin---ia tidak punya hak untuk tahu.

Endings, Beginnings.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang