15. Kebenaran

28 6 0
                                    


Warna jingga terlihat mewarnai kumpulan kapas-kapas yang mengapung di atas cakrawala, menemani bias cahaya mentari jam tiga sore kala itu---menyorot teramat terang menembus area ruang tamu dalam pandangan Ae-ri. Dan secara langsung menyadarkan dirinya jikalau Seokjin terlalu lama meringkuk di atas ranjang dari kemarin. Lantas di dapur---Ae-ri segera memindahkan sup sayur yang telah dibuatnya dengan beberapa buah dan segelas air putih. Lalu dengan langkah ringan, ia membawa tubuhnya menelusuri selasar rumah, menuju kamar Seokjin yang tidak tertutup.

Semilir angin yang menelusup dari jendela yang setengah terbuka, menggerakkan tirai-tirai putih yang menjerambai. Dugaannya benar sekali, Seokjin masih anteng bersama selimutnya. Tidak usik dan menyadari kedatangannya.

Kemudian setelah menyimpan nampan di atas nakas, tubuhnya menyerong dan membawa jemarinya untuk sejenak menyingkap rambut-rambut Seokjin yang mencuat agak kusut kemana-mana. Ae-ri mengembuskan napas lega saat merasakan suhu tubuh pemuda itu yang sudah kembali normal. Meskipun wajah Seokjin masih pias, dan agak berminyak dari biasanya. Bibirnya juga masih pucat dan pecah-pecah karena pemuda itu tidak banyak minum air.

Ae-ri sempat akan mengurungkan niat untuk membangunkan---sebab tidak tega untuk menganggu, kendati sejak pagi tadi Seokjin hanya terbangun saat dibangunkan untuk sarapan dan minum obat---lalu meneruskan tidurnya hingga sore ini. Maka selepas itu tangan Ae-ri yang merapihkan rambut, tergerak memberikan tepukan pelan.

"Kak Seokjin bangun," ia berkata lirih tak ingin terlalu menyentak seraya berikan tepukan sebanyak empat kali sampai akhirnya kelopak pemuda itu mulai berkedip-kedip. "Kak Seokjin ayo bangun, sudah sore."

Pemuda itu mengerjap tatkala membuka mata, masih linglung selagi Ae-ri masih menepuk lengannya.

"Tidak baik tidur terlalu lama. Bangun yuk, aku bawakan makanan. Kak Seokjin juga harus minum obat." Seokjin menggeliat kecil, matanya bergerak pelan-pelan, belum ingin merelakan tidurnya untuk berakhir.

"Ayo bangun, Kak."

"Ehm. Memangnya jam berapa sekarang, Ri?" suara Seokjin serak saat berkata lemah dengan wajah bantalnya.

"Jam tiga sore. Aduh, hei, tuan Kim jangan tidur lagi!" Seokjin terkesiap menerima guncangan bertenaga yang masih sopan dari si gadis walau nada bicaranya mulai rewel. "Kalau tidur terus, malam nanti bisa-bisa Kak Seokjin tidak bisa tidur."

"Sebentar lagi, Ri."

"Tidak bisa. Sudah terlalu lama Kakak tidur."

"Tunggu ...."

"Bangun, Kak." Ae-ri menghela napas, menyibak pelan selimut guna mengambil alih tetapi pemuda itu menarik selimutnya nyaris menutupi kepalanya andai tidak segera ditahan.

"Kak Seokjin."

"Mhm. Iya, iya, ini aku bangun." gadis di sampingnya terkekeh hingga perlihatkan gigi---senang barangkali sebab pada akhirnya Seokjin memaksa netranya terjaga meskipun dengan berat hati. Bersandar pada punggung ranjang, sejenak ia meluangkan beberapa sekon di sana dengan melamun selagi memanggil kesadarannya yang masih tertinggal. Kemudian menerima gelas yang diserahkan untuknya, yang lantas diteguk beberapa kali hingga tenggorokannya tidak sekering tadi.

"Bagaimana kondisi Kak Seokjin sekarang? Sudah membaik? Apakah ada yang masih sakit?"

Pemuda itu menggeleng. Menoleh sekilas dan mengulas tipis bibirnya. "Tidak usah cemas. Aku sekarang baik-baik saja. Hanya tinggal badanku saja yang masih lemas."

"Syukurlah kalau begitu."

Pemuda itu mengangguk meyakinkan. Menyerahkan gelas pada si gadis lalu pandangannya jatuh pada beberapa makanan di atas nampan yang kini dibawa Ae-ri dalam pangkuan paha.

Endings, Beginnings.Where stories live. Discover now