04. Ironi

31 7 1
                                    

Ae-ri tidak menyangka jika hari ini benar-benar terjadi. Bahwa hari ini dia akan menyandang status sebagai istri seorang Kim Seokjin, kakak Jungkook. Memang ironi—menyakitkan—dan bahkan tidak adil. Mungkin bisa saja Ae-ri membatalkannya sekarang juga kendati mulutnya seakan dijahit rapat serta tubuhnya selalu beku ditempat. Ia terjebak. Posisi dimana ia berdiri sekarang seperti berada di tengah jembatan yang akan roboh. Bergerak akan membuatnya terjatuh, terdiam pun bisa membahayakannya sebab jembatan bisa roboh kapan saja. Apapun keputusannya akan punya resiko.

Kemudian dikala memandang pantulan dirinya dalam cermin besar dihadapannya. Melihat bagaimana figur miliknya dikenakan gaun pengantin yang sejatinya telah dirancangnya dengan Jungkook. Dadanya diserang sakit yang teramat perih. Beribu maaf dalam raga ia ucapkan pada Jungkook. Rasa bersalah ini tidak bisa dia tahan. Ae-ri sungguh jahat pada kekasih tercintanya itu.

Ae-ri pikir mungkin bilamana ia tidak melihat sosok Kang Jieun yang menyiratkan keputusaan juga kekhawatiran mendalam padanya, mungkin---Ae-ri pasti tidak akan pernah bisa menerima pernikahan ini.

Ae-ri sungguhan tidak bisa acuh begitu saja ketika melihat raut itu, raut yang sukses menusuknya. Berharap saja Ae-ri tidak menyaksikan raut itu, dan permohonan sang mama;

"Mama selalu memprioritaskan-mu dalam segala hal. Apapun yang dipilih-mu, kami tidak pernah menolaknya selagi itu baik. Kamu juga mengetahui kami tidak pernah sekalipun menuntut sesuatu padamu."

"Jadi, untuk kali ini tidak bisakah kamu mengikuti permintaan orangtuamu, nak?"

Begitu sang mama memegang tangannya, dia merasa bahwa mama amat menaruh harapan padanya. Hingga pada akhirnya disini Ae-ri berdiri dengan sisa tenaganya. Menunggu detik-detik dirinya menjadi milik orang lain.

Tatkala itu Kang Min Hyuk datang, menjemputnya untuk berjalan menemaninya ke altar.

"Mari putri ayah."

Rasanya Ae-ri dibuat tidak tahan mendengarnya. Putri Ayah. Kini pernikahan terasa begitu nyata. Ae-ri memperhatikan sekelilingnya; papa dengan setelan jasnya yang begitu gagah kemudian ia yang berjalan beriringan memasuki altar---yang disambut puluhan tatapan memuji kedatangannya. Iringan musik, aroma makanan, gemerlap cahaya, hingga berakhir Ae-ri menemukan sosok tampan tepat di depannya.

Kim Seokjin.

Jantungnya bertalu hebat memandang Seokjin. Ah, Ae-ri tidak kuasa. Pelupuk matanya mulai terasa penuh. Ae-ri ingin meraung kendati cepat-cepat menguatkan dirinya.

Seokjin mengulurkan tangan pada Ae-ri. Keduanya berdiri saling berhadapan; saling menatap dan mempersiapkan diri untuk mengucapkan sumpah pernikahan.

Sebelum ikrar terjadi. Kim Seokjin maju satu langkah pada Ae-ri. Ada satu hal yang harus ditanyakan, harus sekali Seokjin pastikan. Pikirnya masih ada celah untuk menghentikan segala yang terjadi.

"Akan kutanyakan sekali lagi padamu, Ri. Apakah kamu sudah yakin dengan pernikahan ini?" tanya Seokjin. "Masih tersisa waktu. Katakan saja jika ingin mengakhirinya."

Kendati Ae-ri membalasnya dengan gelengan pelan. Dan Seokjin kelewat paham untuk tidak memaksa. Lantas manakala Seokjin mengucapkan ikrar pada Ae-ri, yang seharusnya dilanjut mencium pasangannya---Seokjin memilih merengkuh Ae-ri dalam dan hangat menyembunyikan tangis yang keluar dari gadis dalam peluknya.

Dalam ramainya sorak gembira orang di ruangan, Kim Seokjin lalu menyisipkan bisik pada Ae-ri; "Aku akan membuat semuanya menjadi baik-baik saja. Aku berjanji, Ri."

***

Kim Ae-ri. Bukan Kang Ae-ri, lagi.

Marga miliknya mutlak terganti malam ini. Pada akhirnya semua terjadi begitu cepat. Tetapi Ae-ri tidak ingin mengingat setiap detail yang terjadi. Sebab ia masih tidak siap menerima kenyataan yang telah menimpa. Atau tidak akan pernah siap.

Bahkan Ae-ri belum rela jika kini ia dibawa ke hunian milik Seokjin. Tidak disangka juga bahwa dia akan tinggal seperti layaknya sepasang suami-istri; tinggal di satu atap. Yang dikarenakan oleh paksaan kedua keluarga.

"Kita tidur terpisah ya. Kamu tidurlah di kamarku, dan aku akan tidur di kamar tamu." kata Seokjin saat tiba di kamar sambil menyimpan koper di pinggir ranjang.

"Biarkan aku saja yang tidur di kamar tamu." ucap Ae-ri merasa tidak enak.

"Tidak. Tidurlah disini. Kamar tamu sedikit berantakan dan ada banyak barang yang sengaja aku taruh. Kamu tidak akan nyaman."

"Aku tidak masalah. Bisa aku dibereskan, 'kan?"

Seokjin menggeleng cepat, "Tidak Ae-ri. Aku tidak ingin kamu kerepotan."

"Tapi---"

"Tidak usah pedulikan aku. Pakailah kamar ini. Jangan menolak lagi!" tuturnya meyakinkan sembari mengulas senyum.

Ae-ri lihat Seokjin mendekat ke lemari, mengeluarkan sepasang baju oversize lalu menghampirinya lagi. "Aku keluar ya. Katakan saja jika kamu butuh sesuatu. Jadi, tidurlah... kamu butuh istirahat."

Mulut Ae-ri terbuka tanpa suara, hendak untuk mengatakan sesuatu seperti; Terimakasih Kak, tetapi urung. Ada perasaan segan dan malu yang membumbung, terlalu banyak ia membuat repot Seokjin sehingga pikirnya sebuah kata tidak dapat membalasnya.

Setelah Seokjin keluar dan menutup pintu, netra Ae-ri menyerbu kamar yang menjadi pandangan baru baginya. Interior yang ada memang sangat Kim Seokjin sekali. Saat foto yang tersegel bingkai kayu kecil di atas meja dilihatnya, Ae-ri mendekat dan meraihnya. Pupil matanya bergerak gelisah, ia usap bingkai foto tersebut seiringan dengan tenggorokannya yang terasa sakit.

Ae-ri terisak melihat foto Jungkook yang ada di sana, tampak sangat sehat dan gembira hingga gigi kelinci pria itu terlihat.

Rasa bersalah kembali menggerogoti dirinya. Kekasihnya itu di ambang hidup dan mati. Jungkook membutuhkannya kendati apa yang tengah dilakukannya? Tidak ada Ae-ri di sisi Jungkook sekarang, dan malah disini, duduk menangis dengan perasaan bersalahnya.

"Pantaskah aku meminta maaf dan mengharapkan kamu?" monolog gadis yang tengah terduduk itu sambil terus memandangi foto di tangannya.

Rintik hujan terdengar membasahi atap, mulanya hanyalah beberapa tetesan kecil, sayup sayup, dan akhirnya mulai membesar layaknya batu kerikil yang sengaja dilempar. Sukses meredam bisingnya malam juga tangis Ae-ri yang kian menjadi. Seakan malam ikut menemani si gadis yang sendirian di selimuti tangis.

"Jung, cepatlah sembuh dan peluk aku seperti kemarin." <>

Endings, Beginnings.Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang