26. Relung bergaung

40 6 3
                                    

Penghujung hari menjadi suatu yang membosankan ketika dalam waktu yang sama persoalan menyebalkan mengenai perut yang lapar harus berkelahi dengan otak mengepul karena direcoki pekerjaaan di perusahaan adalah perihal serius bagi Seokjin, terlebih berkas-berkas tak pelak seakan mencemooh dirinya; dengan menantang---menggiring suasana hati semakin buruk.

Pelipisnya tidak menahu menjadi sasaran ketika pening melanda. Seokjin barangkali akan mendecakkan lidah bila sudah seperti ini, kendati permasalahan itu untuk berhari-hari menjadi sedikit sepele ketimbang memakan dirinya sendiri dengan hiruk pikuk isi kepalanya yang ruwet. Si Kim hanya akan selesai ketika jarum jam bertemu detik dan menit secara bersamaan---nyaris tengah malam. Seokjin enggan untuk pulang pada bangunan yang disebut rumahnya---atau lebih tepat enggan dengan ketidaknyamanan di setiap sudut rumah ketika raksi yang selama ini menemani satu tahunnya itu menguap dalam setiap memorinya---berefleksi menjadi perasaan kosong yang ia tidak tahu bagaimana cara menghilangkannya.

Alih-alih ketika dengan kantor terasa lebih waras seperti yang selalu ia simpulkan, ternyata daripada menjauh dari sumber kejanggalannya itu---Kim menjadi hilang akal sesaat dengan berani untuk mengkhianati kewarasannya demi memuaskan relungnya yang senantiasa berujung pada oasis di padang luas.

Lihat saja apa yang dilakukannya sekarang.

Di bawah langit oranye yang membentang, saat daun-daun mulai mengotori sebagian ruas jalan---Seokjin berdiam diri di dalam mobilnya di taman  rumah sakit ditemani senyap seraya melepaskan napas berat sesaat sesak menyambut; selagi dua irisnya menangkap presensi seorang Ae-ri bersama sang adik dalam dua meter di depan, tertawa lepas dalam binar yang entah bagaimana bisa begitu menawan.

Bahkan menyadari kepalanya yang berteriak murka atas segala tingkahnya yang salah, Seokjin ternyata hanyalah tengah berseteru atas penolakan terhadap musim semi yang tercecer di dalam dirinya.

Kim Seokjin tidak lebih bodoh untuk terlambat mengetahui apa yang tengah terjadi. Andai ia berkata penolakan hingga mulutnya berbuih---ia justru mendapatkan lebih banyak rasa sakit.

Kendati pemuda itu lantas memutuskan kontak pada dua presensi tersebut. Kemudian saat getaran ponselnya menunjukkan pesan Ahn Taehyung yang bertanya kemana dirinya pergi, ia abaikan begitu saja. Menghela napas serta pilih senderkan kepala pada jok, tangan kanannya memijat pelipis agak kuat. Hari-harinya berantakan sekali. Dia lalu layangkan matanya pada dashboard di mana ada sebuah map biru dengan cap pengadilan di atasnya; surat perceraiannya dengan Ae-ri.

Benda yang sangat mengusiknya.

Di mana lagaknya pemuda Kim itu menyadari inilah sumber kegilaaannya bermula.

"Jungkook sudah sadar. Kita tahu itu. Jadi ... Seokjin. Segeralah mengurus perceraian dengan Ae-ri. Karena bagaimanapun jika lebih lama lagi. Ibu khawatir adikmu itu bisa mengetahuinya."

Itu benar.

Perkataan Ibu adalah benar.

Astaga. Ia hanya harus menyerahkannya pada Ae-ri, 'kan?

Baiklah. Tentu saja memang seperti itu. Lalu apa yang ditunggunya? Helaan napas berat dikeluarkan. Sehingga Seokjin pada akhirnya menegakkan tubuh dan meraih berkas tersebut, pandangannya sejenak kembali tertuju pada Ae-ri---yang seketika saja lekas ia membenahi musim semi di dadanya yang kembali bergejolak.

Maka bersamaan dengan itu Seokjin tersenyum simpul lalu berujar lirih, "Kita akan bercerai. Itu pasti. Tetapi ...," Perlahan ia membuka dashboard lantas meletakkan surat perceraian di dalamnya, "biarkan aku menundanya sebentar lagi."

Ya.

Hanya sebentar.

"Karena untuk sekarang—"

"bukankah aku yang menjadi suaminya?"

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: May 26 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

Endings, Beginnings.Where stories live. Discover now