14. Hilang

38 6 0
                                    

Seokjin merasa jika pagi ini agak berbeda dari sebelum-sebelumnya. Mendadak sinar yang mendobrak masuk dari celah jendela kamar yang membuat usik tidurnya---membuat kelopaknya berkedip tetapi matanya terasa berat untuk terbuka. Bahkan ketika mengumpulkan sisa-sisa nyawa yang masih berada di alam bawah sadarnya, keningnya berkerut ketika rasakan pening menyambut dengan meriah.

Seokjin mengerjap---berusaha untuk terjaga, tetapi kepalanya berdenyut-denyut juga entah hanya perasaannya saja atau tidak; suhu ruangan terasa lebih dingin menyentuh kulit, membikin niatnya untuk terjaga itu raib perlahan-lahan. Kendati tatkala itu Seokjin mendengar suara derit pintu terbuka bersama dengan langkah kaki ringan.

"Iya, Ibu. Maaf sekali. Kenapa? ... Tadi aku sudah berikan kompresan. Ibu akan ke sini? ... Aku bisa mengurus Kak Seokjin. Jadi, tenang saja. Ibu istirahatlah dulu. Mhm. Baiklah. Aku tutup teleponnya."

Seokjin mengetahui bila itu adalah Ae-ri; suara halus sangat khas dikenalinya. Lantas ia menoleh, memperhatikan si gadis yang kemudian mengangkat kedua alisnya ketika bersua tatap, dan saat dirinya akan memposisikan terduduk---Ae-ri lekas mengisyaratkan dengan telapak terbuka.

"Tidur saja. Tidak usah bangun," ujar gadis itu setelah mendudukkan diri, mendorong lemah bahu Seokjin selagi membenarkan bantal menjadi agak tinggi sebagai sandaran. Raut wajahnya nampak sarat khawatir tetapi begitu hangat memandangnya.

"Apa Kak Seokjin butuh sesuatu?" Pemuda itu menggeleng samar, pelipisnya berkerut lagi merasakan pening ketika tubuhnya dibawa duduk. Kemudian ia rasakan punggung tangan si gadis menyentuh lehernya. Seokjin sedikit kebingungan kendati tidak menolak sedikitpun, memilih untuk memejamkan netra dan mendengar helaan napas pendek dari lawannya.

"Bagaimana kondisi Kak Seokjin? Apa ada yang terasa sakit?" tanya Ae-ri yang dibalas gumam lesu Seokjin seraya menyentuh tangan miliknya yang masih menempel di leher dan disimpan di sebelah tubuh. "Tidak tahu. Tapi sepertinya aku sakit, demam mungkin? Badanku benar-benar tidak enak. Kepalaku juga pusing bahkan aku juga merasa meriang."

Seokjin membuka mata, kelopaknya menyanyu saat menemui tatap dengan wajah Ae-ri yang juga memandangnya---alis itu menyatu saat menghela napas, pupilnya menelusuri seluruh wajahnya dengan cemas ketika berkata, "Kak Seokjin memang demam bahkan sejak semalam. Aku sudah berikan kompresan tapi tidak terlalu bereaksi. Panasnya belum turun-turun."

Ah, benar rupanya. Rasanya setelah mengetahui dirinya sakit---Seokjin seakan baru merasakan dingin yang begitu menggelitiknya ditengah tubuh yang menguar panas. Nyaris sekali pemuda itu  memejam sebab pening yang menyerang, mendadak Seokjin seperti dilempari batu karena teringat bahwa ia melupakan sesuatu hal penting.

Semalam.

Ae-ri mengatakan semalaman ia demam. Jika tidak salah mengingat---semalam itu 'kan, ah tunggu! Tidak bagus. Mengapa bisa-bisanya Seokjin melupakan kalau semalam itu dirinya menangis?

Astaga.

Seokjin sontak meraung-raung dalam benaknya sebab menyadari kejadian malam tadi sangatlah memalukan. Entah bagaimana bisa ia menumpahkan diri begitu saja. Kendati Seokjin tidak tahu penyebab apa yang membuat ia kehilangan kontrolnya---seakan melihat Ae-ri membuka tempat dengan kata-kata yang terucap, begitu menyentil hatinya yang beku setelah sekian lama. Pemuda itu benci sekali mendapati dirinya yang terlihat lemah seperti itu.

Bahkan untuk sekarang, Seokjin semakin membenci dirinya sendiri tatkala mencoba mengeruk memori di tempurung kepalanya---mencoba mengingat apa yang terjadi setelah itu---ia menyerah, buntu.

Tidak ingat apapun.

Apakah aku pingsan? Seokjin menggigit bibir ragu. Jika itu benar, maka ia tidak punya muka lagi untuk berhadapan dengan gadis ini. Payah. Entah bagaimana Ae-ri kini menilainya.

Endings, Beginnings.Dove le storie prendono vita. Scoprilo ora