18. Berhenti berbohong | bagian dua

45 6 10
                                    

"Apakah Ahn Taehyung yang mengatakannya?"

Dan---Begitu. Setelah benaknya berkecamuk. Wajah itu melontarkan tanya begitu datar tak ekspresif. Demikian itu mengartikan segala keraguan dan kegelisahan Ae-ri telah ditegaskan.

Menegaskan bahwa segalanya adalah benar.

Payah.

Ae-ri payah. Padahal ia sudah berusaha siapkan keberanian namun begitu melihat pembenaran keluar dari mulut Seokjin---bahunya benar-benar jatuh.

Sungguh. Padahal Ae-ri berharap pernyataannya dibantah dengan lucu. Mengatakan jika kata-kata Taehyung mengenai pemuda itu adalah lelucon akhir tahun.

Namun sayang sekali, itu tidak terjadi.

"Aku tidak mengharapkan karibku sendiri menceritakannya padamu." Seokjin menghela napas begitu dalam. Kemudian menarik satu sudut bibirnya begitu tipis yang menusuk. "Tetapi aku tidak menyangka kamu mengorek-ngorek tentangku lalu bicarakan hal ini terang-terangan."

Seokjin menatap lurus---ada sorot kemarahan dan terluka di sana. "Jadi, bagaimana? Tentangku---bukankah ceritanya sangat menakuti dirimu?"

"Kenapa Kakak menyembunyikannya?" Ae-ri tak hiraukan kalimat Seokjin. Wajahnya terangkat tak gentar dikala kata yang sedikit bergetar. "Apakah orang yang menyayangimu, keluargamu, ayah, ibu, adikmu, apakah mereka tidak berhak untuk tahu?"

Seokjin mendadak terdiam. Pandangannya terlempar ke samping seakan menolak perkataannya.

"Mereka tidak sekalipun mengetahui rahasia ini. Lalu Kak Seokjin memendam semuanya sendirian, begitu?" Menahan dadanya yang semakin menyempit. Ae-ri tidak kuat memandangi wajah Seokjin. Mata jelaganya menjadi curam sekali, begitu dalam, tetapi begitu hampa, kosong, dan menghancurkan hati siapapun. Bahkan tidak ada yang bisa membohongi saat pelupuk mata itu menimbun banyak air mata---tergenang di mana-mana.

"Ketahuilah tidak ada yang mau orang terkasihnya menderita sendirian. Tidak ada."

Menyerah. Matanya panas. Ae-ri benar-benar menyerah untuk tidak menangis.

"Setidaknya beritahukan keluargamu. Mereka berhak untuk mengetahui rasa sakitmu. Mereka akan mendengarkanmu," lanjutnya mencicit.

Ditatapnya Seokjin dengan lembut, ia berbisik, "Tetapi mengapa?" suaranya tersendat. "Katakan. Kenapa, Kak? Kenapa Kak Seokjin sembunyikan semuanya? Kenapa tidak bercerita sedangkan ada banyak orang yang siap untuk mendengarkan. Bahkan aku. Aku juga ada di sini. Tapi, Kenapa----"

"Aku tidak siap untuk ditinggalkan," ujar Seokjin memotong. Kepalanya tertunduk begitu dalam. Menyembunyikan seluruh kelemahannya. "Bagiku ketakutan setiap malam dengan rasa sakit ini sudah cukup. Aku tidak sanggup jika harus ditinggalkan."

Ae-ri mengerjap getir. "Kak ...."

"Kamu tidak mengerti, Ae-ri." Seokjin kembali memotong. Dia tersenyum keruh. "Aku pendosa. Aku adalah seorang pembunuh. Semua orang akan membenci hal itu. Aku bahkan menakutkan. Katakan. Siapa yang sudi untuk menerimaku? Siapa, Ae-ri?

"Kenapa Kakak berpikir begitu?" Ae-ri terisak pelan mendapati begitu memerahnya kedua bola mata Seokjin---hancur, pemuda itu hancur. "Itu tidak benar."

"Omong kosong." Seokjin tertawa sumbang. Menunjuk dirinya sendiri dengan bergetar. "Aku bahkan sangat menbenci diriku sendiri. Benci sekali sampai ingin mati."

"Tidak. Berhenti. Jangan bicara seperti itu. Berhenti." Ae-ri tergagap. Berusaha untuk tidak mencelos dengan kesedihan itu. Sungguh, ia ingin menampar pemuda ini karena bicara yang tidak-tidak. Sosok dihadapannya begitu rapuh sekali. Tidak ada senyuman hangatnya lagi. Tidak ada lagi. Hilang. Sudah hilang.

Endings, Beginnings.Où les histoires vivent. Découvrez maintenant