19. Sorak lepas

42 8 5
                                    

Adakah yang menunggu cerita ini?

Pertama, maaf karena terlambat dari biasanya :(
Aku sedikit sibuk akhir-akhir ini karena kuliah dan pekerjaan. Doakan saja semoga aku bisa tetap konsisten update tiap minggunya yaaa....

Anyway selamat membaca dan silakan tinggalkan jejak.♡


__

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


__


Ketika pertengahan siang yang nampak muram, Seokjin menghirup beberapa udara untuk melapangkan beban di dadanya sekaligus meneguhkan keberaniannya yang akhirnya bisa ia temukan.

Seokjin menyadari bahwasanya waktu yang diambilnya untuk temukan tekad itu terlalu lama. Dan waktu sudah terlalu renta untuk menunggunya lagi. Namun kali ini berbeda, sebab teruntuk hari ini Seokjin tidak akan menundanya, tidak akan, karena ia tidak mau semuanya berakhir menjadi semakin terlambat untuk segalanya.

Maka tatkala awan-awan yang semakin kelabu, kedua kakinya mulai diseret halus, meniti sedikit demi sedikit langkah-langkahnya yang kian membawanya pada sebuah penantian untuk dibebaskan.

Lalu selepas banyaknya langkah yang kian memberat---Seokjin hanya berusaha baik-baik saja saat tungkainya akhirnya berhenti tepat  ketika menemukan sebuah tumpukan tanah berselimut rumput beserta nisan.

Butuh delapan detik saat akhirnya Seokjin lantas membawa tubuhnya untuk berjongkok menghadap nisan. Menghirup napas dalam, dan memasang senyuman.

"Hai, Hanna. Sudah lama sekali kita tidak bertemu."

Bibirnya secara tidak tertahankan bergetar menahan senyuman yang pedih.

"Bagaimana kabar kamu di sana? Aku harap kamu baik-baik saja, karena di sini," Seokjin menjeda, menghela napas terbata-bata. "Aku tidak pernah baik-baik saja. Itulah kenapa aku datang terlambat."

Senyap.

Angin berhembus saat ia membuka mulut lagi meragu, "Apakah kamu marah?"

Tetapi dua detik kemudian mendadak Seokjin tertawa menyakitkan. Sadar akan ucapannya yang konyol. Barangkali Hanna bukan hanya marah. Barangkali Hanna sudah membencinya apalagi mengingat tentang segala perbuatannya terhadap perempuan terkasihnya itu.

Selama delapan tahun terakhir bahkan Seokjin mengetahui ia tidak bisa berlari dari kutukan atas kesalahannya itu; rasa bersalah, dan penyesalan selalu mengejar dan membersamai di setiap tarikan napasnya.

Bahkan barangkali Seokjin tidak bisa menghitung ada berapa banyak tangis di setiap malam-malamnya yang sunyi, entah berapa banyak kata seandainya yang selalu ia gaungkan---berharap waktu memiliki sebuah tuas lantas ia bisa memutar segalanya---menghentikan kejadian tragis yang begitu dibenci olehnya.

Endings, Beginnings.Where stories live. Discover now