13. Jeda

48 9 4
                                    

Malam begitu pengap tanpa sinar.

Seokjin berpaling---menelanjangi apapun yang dilihatnya. Seluruhnya hitam pekat. Kosong. Tidak ada siapapun. Seokjin meremas dada dengan telempap besar; kasar, kaosnya kusut. Punggung lantas melengkung lemas, bertumpu gunakan bawah tubuh.

Ada di mana?

Napasnya pendek, diraup rakus seakan tidak ada hari esok. Langit bahkan menangis menyaksikan. Seokjin mendongak, remang-remang cahaya memasuki kornea miliknya dalam tiap tetes air mata awan yang begitu menusuk---perih, sakit sekali. Ia mengerjap payah dalam kabut-kabut yang mendadak muncul lantas segalanya mulai jelas dalam penglihatan; aspal, jalanan panjang yang sepi, dibalut gulita malam dan---mendadak Seokjin menelan ludahnya berkali-kali. Benak dan pikirnya menolak untuk menerima apapun yang dilihatnya.

Buruk. Ini buruk.

Bagaimana ia bisa berada di tempat ini, lagi?

Hingga saat ia menunduk, berusaha kabur untuk bersembunyi ketika detik yang terkutuk dalam hidupnya kembali menyeret dirinya. Genangan merah mengerikan lebih dahulu menyergap. Jantungnya menjerit ketakutan tatkala jemarinya menyentuh darah. Ia menggosokkan kedua tangan, mencuci menggunakan titik-titik hujan yang begitu deras secara berulangkali tetapi itu adalah kesia-siaan.

"KENAPA TIDAK MAU HILANG."

Seokjin nyaris menangis. Noda merah dalam tangan tidak hilang, malah aroma anyir semakin menusuk penghidu. Kemudian kepalanya perlahan bergerak, memperhatikan arah genangan itu berasal, meniti teliti meskipun Seokjin tahu bahwa ini tidaklah benar---ketakutan semakin bercokol dalam dirinya; semakin tidak waras.

Berhenti. Tolong jangan dilihat.

Seokjin kelabakan. Menumpahkan seluruh tenaga untuk berusaha menutup mata dan berontak agar bisa melarikan diri tetapi tubuhnya terkunci. Ia dikendalikan, tubuhnya tidak ingin menurut, dipaksa diarahkan untuk tunduk dan menyaksikan sesuatu yang mengerikan di depan sana.

Ada sosok perempuan, tergeletak mengenaskan dalam kubangan darah yang keluar dari tubuhnya. Dress putih yang dikenakan nampak kotor sekali dipeluk hujan, bercampur dengan darah yang merembes dan debu-debu jalanan. Kaki dan tangannya tidak bergerak, dia telah lumpuh, banyak luka-luka di wajahnya. Pipinya tergores, lalu---Seokjin rasakan napasnya kacau, dadanya seakan siap meledak, ia tidak sanggup untuk melihat.

Perempuan itu menatapnya, iris itu begitu kelam---penuh kengerian---tak pelak membuat jantung Seokjin menjerit. Tak lama perempuan muda itu tertawa sinting seakan sekarat itu bukanlah apa-apa.

"Jin."

Tubuh Seokjin bergetar ketakutan, keringat muas menyatu dengan guyuran hujan yang membasahi baju---tanpa celah.

"Hei, apakah kamu sudah melupakanku?"

Tidak. Tidak. Tidak. Seokjin tidak mungkin melupakan perempuan itu. Memorinya tidak pernah sekalipun lelah untuk mengingatnya.

"Tidak, ya? Mana mungkin kamu melupakanku semudah itu."

Perempuan itu masih tergeletak, tetapi tak gentar melayangkan kata demi kata bersama tatapan yang begitu dingin. Menciutkan nyali lawannya untuk sekedar bersua tatap.

"Lucu sekali melihatmu ketakutan seperti ini. Lantas apakah ketika melakukan dosa itu, kamu tidak ketakutan sama sekali, Jin?" Detik terus berdentum mengerikan. Perempuan itu menyeringai. "Seharusnya kamu berpikir milyaran kali sebab kamu memang tidak pantas untuk tenang sepanjang hidupmu."

"H--HENTIKAN!"

Seokjin menjerit. Membungkuk ketakutan. Perempuan itu malah gencar berkata-kata dengan tawa yang menyakiti pendengaran, begitu menggelegar mencekam malam yang hening.

Endings, Beginnings.Where stories live. Discover now