20. Rinai yang tak lagi sama.

57 8 5
                                    

ada yang kangen?
silakan tinggalkan jejak sebelum memulai membaca :>

Dalam naungan senja yang membentang diantara katulistiwa, dibersamai tiupan angin yang menyentil permukaan tubuhnya, Seokjin berdiri di dekat pohon maple, tengah memandangi beberapa anak-anak yang nampak ceria menikmati camilan kemasan yang berserakan di atas gazebo. Dengan jelas Seokjin bisa menyaksikan binar bahagia terpencar diantara selip-selip manik mereka. Berhasil saja mengusir gulananya yang memenuhi diri.

Bagaimana anak-anak itu bisa tertawa lepas hanya dengan sebuah makanan sederhana yang biasa didapatkannya, membuat hatinya tersindir. Mereka dapat merasakan kebahagiaan hanya dengan hal kecil, berbanding terbalik dengan dirinya yang selalu mendapatkan segala kemewahan sedari kecil seringkali merasa tak puas.

Melihat momen-momen seperti ini membuat Seokjin bisa merendah menapak tanah. Entah bagaimana bisa dirinya begitu tak tahu diri dengan serakah meminta kehidupannya untuk selalu sempurna, sementara di luar sana ada banyak kehidupan yang tak seberuntung dirinya.

Sejemang pemuda Kim itu mengedipkan kelopaknya sebab terbuyarkan oleh anak-anak tadi terlihat terburu-buru beranjak dengan kerepotan memeluk camilan, membiarkan begitu saja beberapa remahan kecil berserakan di lantai tanpa dibersihkan, berlari tergopoh-gopoh menuju panti lalu mendengar Nyonya Lim berseru menyuruh mereka untuk masuk.

Seokjin terlambat menyadari ketika merasakan beberapa bulir anak awan yang menyentuh kemeja biru langit miliknya, jantungnya mendadak berdegup feral, ia melangkah mundur terbata-bata, matanya hanya sempat tergerak menyapu sekitar diantara tetesan yang mulai intens berjatuhan saat ada sebuah tangan meraih pergelangan tangannya.

"Apa yang Kak Seokjin lakukan? Ayo cepat menepi."

Seokjin terhenyak---bahkan manakala dirinya diajak untuk lekas melangkah. Ia hanya memilih membungkukkan tubuhnya, menerima tangan mungil Ae-ri kesusahan menutupi sebagian kepalanya agar tidak kebasahan selagi dirinya terus dituntun mencapai gazebo.

Ketika berhasil menepi, Seokjin mengatur napas hati-hati, kakinya gemetaran, lantas jemarinya meremat guna menahan dadanya yang seperti dibebat sesuatu sampai sesak.

Samar-samar ia bisa dengar Ae-ri menggerutu, seperti memandang jengkel terhadap gerimis yang membuat sebagian bajunya basah kini menghambat keduanya untuk memasuki panti.

"Astaga! Kita sepertinya akan terjebak di sini." Gadis itu menghela pasrah. Seokjin tengah usahakan mengatur napas ketika presensi itu menghadap padanya dan bicara lagi, "Kak kita tunggu sampai hujannya reda saja---" namun kalimatnya tidak menemui akhir, tepat ketika Seokjin mundur ke belakang dan menjatuhkan diri di atas gazebo, duduk memegangi dadanya.

Dapat dilihat perubahan raut wajah kecemasan Ae-ri tercetak untuknya, terburu-buru mendekat dan melayangkan tanya khawatir, "Kak? Ada apa? Kamu baik-baik saja?"

Seokjin menatap bisu saat jemarinya yang gemetar dipegang oleh si gadis yang makin menatapnya penuh pertanyaan.

"Aku tidak apa-apa." Seokjin ingin untuk demikian, usahakan mengulas senyumnya untuk menyakinkan jika saja tubuhnya dapat bohong untuk baik-baik saja.

"Kak Seokjin kenapa sampai berkeringat dingin begini. Katakan, a--apa, bu---butuh sesuatu?"

Wajah Ae-ri diliputi kekhawatiran dan panik yang mendera. Seokjin diam memperhatikan alis Ae-ri bertaut cemas ketika menyingkap beberapa anak rambut guna menyentuh sisi kening yang berpeluh memastikan sesuatu. Iris itu menatapnya teliti, memeta satu persatu inci wajahnya dengan gelisah, menjatuhkan tatap diantara kedua matanya bergantian.

"Tunggu di sini. Aku bawa payung dan kita masuk ke panti."

"Tidak. Jangan ke mana-mana." Seokjin segera menahan pergelangan tangan si gadis yang ingin pergi. Membawa daksa itu untuk tetap disampingnya. "Tunggu dan temani aku saja. Di sini."

Endings, Beginnings.Where stories live. Discover now