06. Perjanjian

33 9 0
                                    

"Jadi, maksudnya adalah kita membuat perjanjian?" Ae-ri merendahkan pandangannya seraya mengaduk nasi goreng yang hanya dimakannya sebanyak tiga suap.

"Ya."

Seokjin mengiyakan. Hingga kiranya terjadi jeda yang cukup lama. Seokjin mengamati Ae-ri yang tengah mengatupkan bibir seperti enggan berkomentar lagi. Pun dirinya memaklumi, pastinya ini terlalu mendadak serta terlalu banyak beban pikir yang tertampung di kepala gadis itu. Hanya saja, Kim Seokjin melakukannya demi kebaikan mereka untuk kedepannya. Harap-harap perjanjian ini bisa membantu dan melegakan status yang mengikat mereka.

"Ada banyak perbedaan yang tidak ketahui." Seokjin memulai kembali konservasi. Lengannya terlipat di atas meja, netranya memandang lawannya dengan teduh. "Aku tidak ingin karena perbedaan itu, menyebabkan kerenggangan ataupun salah paham antara kita. Padahal saling berusaha mengenal pun---kita tidak sempat. Jadi, pastinya akan sangat sulit bagi kita berdua untuk hidup begitu jika tidak saling memahami masing-masing."

Seokjin mengulas senyum tipis, dan berkata lagi, "Maka aku sarankan agar kita membuat perjanjian ini. Surat yang isinya tentang apa-apa yang menjadi batasan antara kita, hal-hal yang mengganggumu, serta apa yang menjadi hak kamu. Tuliskan disini! Dan aku akan mencoba untuk melakukan apa yang tertulis." tutupnya.

Di depannya Ae-ri tertegun. Seperti tengah bergelut dengan dirinya. Seokjin memilih diam dan membiarkan gadis itu mencerna apa yang ia jelaskan supaya tidak ada salah paham. Dia ingin mereka putuskan perjanjian ini bersama dan dengan persetujuan dua belah pihak.

Namun sepertinya Seokjin kini tidak perlu gelisah sebab kelegaan mulai menghampirinya. Lagaknya Ae-ri mulai memahami maksud sebetulnya dari kertas kosong tersebut. Sebab kini Ae-ri tampak meraih kertas itu dan menatapnya sembari menarik simpul bibirnya.

"Mari kita lakukan." Pada akhirnya Ae-ri memegang kertas tersebut seraya meraih pulpen yang menganggur. Ia memandang lurus seperti mengamati tiap sisi lembar putih tak terjamah itu serius. Menimbang titik manakah ia harus mendaratkan ujung pulpen tersebut, atau mungkin, ia menimbang perihal apa yang harus ia tulis pertama.

Lantas Ae-ri dekatkan ujung pena tersebut di atas kertas bersih tanpa tinta. Menggenggam pulpen itu erat tetapi enggan untuk melakukan pergerakan lagi. Sedangkan Seokjin mengamatinya dengan setia. Hanya saja tak lama Ae-ri menghela napas dan menjauhkan pulpennya lagi, menghasilkan titik hitam kecil yang sangat pekat di atas kertas, dan hanya itu.

"Tidak usah terburu-buru, jika memang kamu belum tau, pikirkanlah apa yang ingin kamu tentukan dan aku akan menunggu." ujar Seokjin pengertian. Ia tidak ingin Ae-ri tergesa dan melupakan hal yang sangat penting.

"Maaf. Aku hanya tidak tau harus menulis apa." Ae-ri melonggarkan pegangan pulpen di jemarinya.

"Tidak apa-apa." Seokjin menaruh gelas, irisnya memandang kelewat tenang pada Ae-ri. "Mulai saja dengan hal kecil." Ia mengerutkan keningnya, bibirnya ikut terkatup ke bawah,
"Maksudku. Mhm, kebiasaan kita yang berbeda. Misalnya, kamu terbiasa jika malam lampu di seluruh rumah padam sedangkan aku terbiasa jika lampu dinyalakan sepanjang malam."

"Aku mengerti." Ae-ri mengulas senyum mendengarnya pun secepat itu juga senyumnya melebur. Ah, bisa-bisanya ia melupakan bahwa hal sekecil itu berpengaruh terhadap kehidupannya sekarang. Ia lupa bahwasanya hidupnya tidak sama lagi. Kini seorang Kim Seokjin telah mutlak terikat dengan kehidupan miliknya. Atau lebih tepatnya dirinya yang memasang ikatan tersebut.

Ae-ri mengedipkan matanya cepat, berusaha menarik dirinya agar sadar dengan realita yang ada. Lantas segera ia ambil alih pulpen ke jemarinya, "Baiklah. Aku akan menulis perjanjianku."

"Tetapi jujur saja aku tidak akan meminta banyak. Jadi, perjanjian-ku seperti ini saja."

Setelah itu Seokjin melihat Ae-ri mulai menuliskan sesuatu. Menggores kertas itu dengan beberapa kata yang cukup membuatnya penasaran, tetapi ia dapati bahwa tidak banyak kata yang tertulis, kiranya hanya berakhir dengan sebaris kalimat---sedikit sekali. Lalu manakala kertas tersebut diarahkan padanya, ia sedikit terhenyak. Bibirnya terbuka lalu terkatup kembali.

Endings, Beginnings.Where stories live. Discover now