25. Simpul

53 6 8
                                    

Bias cahaya menyebar hangat sore itu, memenuhi ruangan putih dengan warna keemasan. Wajah Jungkook tak pelak dikenai silau-silaunya masih seperti mimpi yang sedikit aneh di mata Ae-ri. Ini selayaknya sihir yang meleburkan mimpi buruk di tempo hari----yang seakan tidak pernah ada atau barangkali itu hanyalah putaran sinema satu malam belaka dalam hidupnya. Kecelakaan malam itu, kemudian pernikahan yang tiba-tiba, dan rasa sesak panjang tentang ketakutan dalam dirinya mengenai Jungkook.

Berakhir.

Seorang Jungkook yang kini menggenggam tangan Ae-ri posesif, bukanlah bunga-bunga tidur yang mengikis kewarasan. Dengan kesadaran, Ae-ri bisa mengetahui jika Jungkooknya memang nyata.

"Bagaimana kondisimu sekarang, Ae-ri?"

Ah.

Kapan ya terakhir kali Ae-ri ingat jika suara Jungkook memang selemah ini? Ibu memang menjelaskan Jungkook sebetulnya belum bisa untuk banyak bicara karena tenggorokannya masih kaku. Dokter yang memeriksa kondisi Jungkook memaparkan semuanya baik dan tidak ada komplikasi. Jungkook hanya memerlukan fisioterapi untuk bisa melakukan aktivitas lagi. Dokter juga mengatakan ketahanan fisik Jungkook terbilang bagus sebab memiliki toleran tinggi terhadap rasa sakit sehingga tidak heran pria itu ditemukan bisa berdiri sendiri pada hari keempat.

Jelas itu menakjubkan.

Namun, tetap saja, dengan Jungkook menanyakan keadaannya begitu terdengar menyebalkan.

"Bicaramu tidak sopan." Suara Ae-ri serak selepas menangis cukup lama. "Kamu tidak sopan menanyakan kondisiku begitu setelah semua yang terjadi."

Jungkook menatapnya sendu. Bibir prianya yang pecah-pecah mengatup. Ae-ri tahu Jungkook khawatir, tapi semerta-merta membuat dirinya marah dan kesal sekali.

"Sungguh kamu tidak sopan. Tidak sopan sekali." Ae-ri memukul lemah dada Jungkook. "Kamu tidak sopan mendahuluiku untuk bertanya. Padahal di antara kita. Kamulah yang seharusnya dikhawatirkan."

"Maaf." Jungkook berujar lirih. Mendekat dan pelan menyimpan kepalanya pada ceruk leher Ae-ri tanpa menghentikan pukulan yang diterima.

"Tidak sopan." Menggigit bibirnya yang bergetar, pukulan itu berganti dengan rematan kasar pada baju Jungkook. Ae-ri tidak bisa mengerti apa yang dirasakannya; mengapa ada banyak suara dalam hatinya, berteriak meraung, tidak terbendung, tanpa tahu apa yang harus dikeluarkan lebih dahulu. Satu-satunya yang jelas hanyalah air matanya yang bekerja lebih cepat.

"Ae-ri." Jungkook bangkit, jarinya mengusap pipi Ae-ri yang basah. "Jika tahu akan menyusahkanmu. Aku pasti tidak akan memilih untuk bangun lagi setelah kecelakaan itu."

"Lagi. Kamu bicara tidak sopan!" sergah Ae-ri.

Jungkook menarik sudut bibirnya. "Baiklah. Maaf kembali."

"Apa tidak ada kata selain maaf?"

"Kamu ingin aku mengatakan apa?"

"Menurut kamu apa, Jung?" Ae-ri bersungut-sungut.

Kendati Jungkook hanya balas dengan senyuman, mencoba mengerti Ae-ri yang belum stabil emosinya. Jungkook memang tidak menyangka kecelakaan itu berakhir dengan dirinya koma. Pasti semua orang telah direpotkan olehnya selama ini. Entah berapa banyak Jungkook membuat semua orang berharap takut. Tentu saja, Ae-ri juga terguncang.

"Senang sekali dikhawatirkan olehmu, Ae-ri. Tapi bukan berarti aku suka kamu tidak tenang karena hal itu." Diraihnya tangan si gadis yang diletakkan pada dada bidangnya, Jungkook terpejam selagi merasakan degup jantungnya yang berdegup menyenangkan. Karena sumpah demi buih-buih lautan Jungkook merindukan Ae-ri. Bahkan ingin sekali ia menciumi miliknya hingga tidak bersisa saking ia rindu. Namun, ia tahu perasaan itu harus ditekan dulu.

Endings, Beginnings.Where stories live. Discover now