23. Terbit berpijak pecah | bagian satu

74 6 15
                                    

terbit perpijak pecah ;

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

terbit perpijak pecah ;

Diantara bulan-bulan lepas, Ae-ri teringat saat salju pertama jatuh, bersama satu lilin menyala diantara gulita malam yang sepenuhnya merangkak, kala itu hangat aroma kopi menjadi satu satunya raksi yang membawa pada satu kenangan di penghujung Desember tahun lalu.

Yang mana setumpuk kertas-kertas menjadi salah satu benda yang Ae-ri cemburu karenanya. Kim Jungkook akan habiskan waktu beserta tablet miliknya yang menyala sepanjang hari bahkan tak hiraukan saat Ae-ri bertamu.

"Sebetulnya kekasihmu itu gunung-gunung gambar ini ataukah aku?"

Kalimat tersebut menjadi pemecah fokus lelakinya ketika itu yang tengah berkutat dengan monitor di hadapan, sehingga lalu menghentikan gerakan stylus dan membalas tatapannya dengan iris coklatnya----sementara satu waktu sudut matanya mengkerut ketika satu senyuman terbit demi membala ocehannya tadi.

"Kamu bosan, ya?"

"Kelihatannya bagaimana?"

"Bosan sih." Jungkook tertawa. "Baiklah. Jadi kamu ingin aku bagaimana?"

"Pulang dan istrirahatlah." Ae-ri beranjak mendekat secara kilat rebut stylus itu dan menepikan tab. "Ibu sudah menunggu. Seminggu kamu di studio dan tidak pulang. Haruskah aku selalu mengganggu waktu kamu untuk datang ke sini jika kamu lupa sekitaran dan istirahat?" serobotnya tatap kesal di lawan bicara.

"Ganggu saja waktuku sesuka kamu." Jungkook raih Ae-ri dan membawa tubuh tersebut untuk berada di pangkuannya, tangannya melingkar di bagian pinggang memastikan gadisnya nyaman. "Aku tidak akan keberatan."

"Jungkook aku serius. Tidakkah kamu lelah?

"Orang sukses jam tidurnya paling sedikit."

Ae-ri mendengkus. "Tapi orang waras tidurnya cukup."

Jungkook tergelak.

"Tapi kamu tau kekasihmu ini harus selesaikan ini, bukan? Aku telah menjanjikan pada editor jika akan mengirimkannya minggu ini," tuturnya kemudian. "Lagipula aku bekerja untuk kamu. Bukankah ingin rumah dengan kolam ikan?"

"Lupakan kolam ikan. Aku tidak ingin suami dengan kantung mata panda." Ae-ri mendorong lemah dada bidang si empu berlalu akan berdiri---"Sudahlah suami mana yang tidak dengar calon istrinya. Aku akan pulang kamu dengan mereka saja."----kendati lengan Jungkook menahan pinggangnya dan membawa pada posisi semula. Semerta-merta dalam gerakan yang sama memangkas jarak antar wajah.

"Bercanda, Sayang. Jika itu Ae-ri. Bolehkah aku menolak?" Jungkook tersenyum yang Ae-ri dapatkan pula keningnya disentuh labium hangat si lelaki. "Jadi ... aku akan pulang. Tetapi sebelum itu aku antar kamu dulu."

"Tentu saja setelah itu kamu kembali ke sini," sanggah Ae-ri.

"Tidak, Ae-ri. Mengapa kamu ini tidak percaya?" Jungkook melepaskan tawa yang perlahan mereda lantas melanjutkan serius, "Perkataan kamu adalah kewajiban. Mana mungkin aku abai? Selama itu Ae-ri aku akan selalu datang dan tidak akan pergi ataupun menolak."

"Manis sekali mulutmu itu."

"Tentu, Sayang. Ingin mencobanya, lagi?"

Merotasikan bola matanya, Ae-ri telah menebak akan demikian sehingga ia segera beranjak selepas mencubit perut rata lelakinya.

"Jangan melantur."

"Astaga---aww! Sshh, Ae-ri  ... sakit sekali, Sayang."

"Sudahlah cepat rapihkan tempat ini. Bukankah perkataan aku adalah kewajiban?"

"Ohh jadi sekarang kamu pintar sekali membalas."

"Eh? Aku 'kan belajar darimu, Jung."

Menarik kedua sudut bibirnya manakala memori yang merangkak tadi perlahan menghilang. Keyakinannya segala hal tentang Jungkook memanglah tidak pernah salah. Untuk tahun tahun yang terlewati, Ae-ri tidak akan pernah melupakan bahwasanya lelakinya itu tidak akan membohongi apa yang telah diucapkannya. Ae-ri tidak akan pernah salah mengenalnya.

Jungkook akan selalu mendengarkannya.

Ya.

Tentu saja.

Jadi, bukankah untuk sekarang seharusnya Jungkook akan mendengar, 'kan?

"AE-RI!!!" Seakan dikeluarkan paksa dari suatu lubang hitam yang menghapuskan seluruh keyakinannya. Bertumpuk-tumpuk dengan suara yang memenuhi kepalanya. Ae-ri rasa kepalanya akan pecah tatkala mendengar pula tangisan Kim Jiwoo turut menyeretnya akan realitas yang ada.

"AE-RI, JANGAN MASUK!"

Kemudian dalam satu tarikan paksa, daksanya  diraup tegas oleh seseorang dibelakang, tetapi seakan itu tidaklah cukup meskipun kakinya benar-benar kehilangan cara untuk tegap, Ae-ri tidak lebih kacau melihat bagaimana perawat tergesa-gesa melepaskan ventilator yang terpasang pada Jungkook diikuti pencopotan alat lainnya, lantas salah seorang dokter menempatkan elektroda pada dada Jungkook beberapa kali.

"Ti--tidak. J--jung." Ae-ri menggeleng kuat-kuat dan memejamkan mata lalu membukanya kembali memastikan jika ini tidaklah benar tetapi itu sia sia.

"BIARKAN AKU KE SANAA!!" Ae-ri berteriak marah. Berontak atas cengkraman Seokjin yang menghadang segala pergerakan dirinya. Kakinya menendang udara juga tubuhnya bergerak kasar. "TOLONG LEPASKAN!!"

"Tidak, Ae-ri."

"LEPASKAN AKU KIM SEOKJIN!" Pecah. Tangisnya pecah. Jari-jari Ae-ri memukul tengan Seokjin yang berada di tubuhnya, menancapkan kukunya sebagai perlawanan agar segera dilepaskan. Ae-ri gila merasakan perasaannya begitu sesak yang penuhi dadanya hingga tenggorokan. Jantungnya berdentum keras. Napasnya tersenggal. Matanya buram tidak jelas melihat apa yang terjadi di hadapan. Namun, ia masih menangkap bayang-bayang tubuh Jungkook membusung lantas terdorong ke belakang tiap kali instruksi elektroda diberikan.

Tidak.

Tidak.

Padahal Ae-ri yakin jikalau suaranya sudah lantang dan terdengar oleh semua orang namun mengapa frasanya kini sukar untuk meraih Jungkook agar kembali.

Jungkook tidak akan meninggalkannya secepatnya ini, bukan?

"JUNG! LEPAS KAK SEOKJIN."

Tidak.

Ini tidak boleh terjadi.

Jungkook tidak boleh pergi.

Jungkooknya tidak akan pergi.

Sementara satu tangannya tetap berusaha melepaskan diri dengan cara menjauhkan lengan Seokjin dari tubuhnya. Ae-ri mendadak menjabak rambutnya tatkala merasai kepalanya berputar-putar dan berdenyut menyakitkan sampai terasa menyengat mata. Lantas suara suara bising mulai memekakkan telinga dengan dadanya yang kian menyimpit sesak. Perlahan tolakan pada Seokjin melemah saat kakinya benar-benar sulit untuk menyokong lagi.

"Ae-ri?"

Selanjutnya yang terjadi ialah matanya benar-benar kabur disertai kepala berat yang kian menjadi, suara bising tadi mulai mengecil dan kian kabur. Ketika Jungkook dan bayangan semua orang yang semakin menjauh, Ae-ri hanya mendapati jika cahaya menjadi redup redup dan redup sebelum akhirnya seluruh pandangannya berubah menjadi gelap.  <>

Endings, Beginnings.Where stories live. Discover now