Bagian ke-tiga🌻; Definisi tidak berguna yang sesungguhnya.

39.9K 7.6K 991
                                    

Happy Reading!

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Happy Reading!

Sejak kejadian tadi, ternyata Fano lah yang mendapatkan dampak buruknya, ia masih terjaga hingga semalam ini sebab napasnya masih terasa sesak. Ada sedikit penyesalan di hatinya kala ia tak mengatakan yang sebenarnya pada ayah jika obatnya sudah habis, alhasil ia yang harus kesusahan sendiri.

Udara dingin yang semakin menusuk membuat Fano harus lebih mengeratkan balutan hoodie pada tubuhnya, kendati begitu, itu tak meringankan rasa terhimpit yang mendera dadanya. Hingga perlahan air mata pemuda itu keluar dengan sendiri tanpa disengaja, Fano terus mengatur nafas meski tetap tak ada sedikit pun oksigen yang berhasil ia hirup.

Hilal yang kebetulan tidur disamping Fano, mulai sedikit terganggu dengan suara nyaring dari hidung sang kakak. Alun-alun Hilal menoleh, mendapati Fano yang terduduk dengan napas tak beraturan.

“Bang?”

Suara berat milik Hilal sukses membuat Fano mengarahkan seluruh atensinya pada sang adik.

“Lu kenapa ngga bangunin gua sih? Goblok banget jadi orang.” terlihat pemuda itu segera bangun dan beranjak keluar dari kamar.

Dan disini Fano tidak bisa merespon apapun, ia sibuk mengatur napasnya yang perlahan mulai sedikit lebih teratur. Sampai akhirnya Hilal datang dengan wajah bantal, membawa segelas air hangat untuk sang kakak.

“Bosen hidup lu?” tangan Hilal berusaha membantu Fano untuk meneguk segelas air hangat yang baru saja ia bawa, “Udah tau sesek malah diem aja, kenapa sih?”

Pemuda dengan setelan kaus hitam polos dan celana boxer di samping Fano terus mengomel dengan nada suara yang tinggi,–sembari terus mengusap punggung sang kakak.

“Lagian gua bukan anak kecil, bang.” Hilal mengarahkan fokusnya pada Fano, “Gua bisa pulang sendiri tanpa lu jemput. Kalau kaya gini, siapa yang salah? gua.. padahal lu sendiri yang ngundang penyakit,–tau ah! Gedeg gua sama lu.”

Hilal segera beranjak dan kembali menidurkan tubuhnya membelakangi Fano. Sungguh, ia kesal pada Fano.

“Abang cuma takut kamu kenapa-kenapa.” tangan Fano bergerak, mengusap kecil kepala sang adik, “Makasih, ya.”

Segera Hilal menepis kasar tangan Fano, “Ck!” kemudian kembali bangun dan menatap sang kakak, “Sengaja 'kan?”

“Sengaja apa, Hilal? kamu jangan berprasangka buruk terus sama abang.” sembari berucap, Fano masih sibuk mengatur napasnya.

“Jelas abang bakalan selalu paling bener di mata ayah, karena abang memang anak ayah. Sedangkan Hilal? Hilal akan selalu di posisi yang paling salah. Iya, selalu.”

Hilal hanya menatap manik sang kakak cukup lama, tanpa mengucapkan sepatah katapun.

“Abang atau pun ayah ngga pernah nyimpulin kalau kamu penyebab sakit abang kambuh, justru tanpa sadar kamu sendiri yang menyimpulkan kalau kamu penyebabnya.” nada suara Fano mulai meninggi, “Sadar gak?”

Dari ayah, untuk abang ✔ Where stories live. Discover now