Bagian kedelapan belas🌻; Tolong dijaga baik-baik, ya.

29K 5.3K 1.1K
                                    

Happy Reading!

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.

Happy Reading!

Ada kalanya Hilal juga kesal dan ingin sekali memarahi Fano karena kecerobohannya. Seharian penuh Hilal dibuat khawatir perkara Fano yang tak kunjung membalas pesannya dan tak ada kabar sama sekali, justru disitu Hilal semakin dibuat kesal saat membaca isi pesan yang Fano berikan. Padahal sehari ini Hilal dirasa hampir gila memikirkan hal-hal buruk yang bisa saja menimpa kakaknya itu, namun dengan perasaan tidak bersalahnya Fano malah mengirim pesan yang membuat Hilal membuang napas panjang.

Tapi dibalik rasa kesalnya, disitu Hilal bersyukur karena Fano baik-baik saja meski tidak sepenuhnya, sebab katanya dia jatuh dari tangga dan ponselnya masuk ke dalam air. Tidak mau menunda, Hilal lantas langsung membalas pesan yang baru saja Fano kirimkan. Di sana tertulis dengan jelas betapa menyesalnya Fano karena sudah ingkar janji dan membuat Hilal khawatir.

Hilal hanya terkekeh kecil, membiarkan Idan yang sedang menyantap mie buatannya sempat bergidik ngeri melihat ekspresi yang ia tampilkan.

“Chat dari siapa, sih? Anjrit banget muka lu.”

Tanpa menoleh, Hilal membalas.
“Abang.”

“Udah ada kabar? Kenapa katanya?”

Sembari menaruh ponsel ke dalam saku, Hilal menghembuskan napas dan berbalik menghadap Idan sembari meraih mangkuk mie yang semula ia simpan di atas meja.
“Hp dia jatuh ke air, jadi ngga bisa ngabarin katanya.”

“Terus apa hubungannya dia ngga masuk sekolah?” tanya Idan, sembari menyeruput sisa kuah mie langsung dari mangkuk.

“Jatuh dari tangga, makanya ngga masuk.. Terus kakinya mungkin keseleo, gua juga belum tau.”

Hilal menaruh kembali mangkuk di atas meja setelah menyuapkan satu sendok mie terakhir.
“Abang katanya minta di jemput besok.”

“Ya jemput aja.” Idan mengarahkan atensinya pada Hilal, “Lu tahu rumahnya ngga?”

Hilal hanya menggeleng kecil sebagai jawaban. Dari kemarin Fano memang belum pernah mengirimkan alamat rumahnya pada Hilal, padahal Hilal ingin sekali tahu dimana Fano tinggal sekarang.

“Abang lu ngga pernah kasih tahu alamat dia?”

“Engga.”

Idan hanya mengangguk singkat sembari mulai merebahkan tubuhnya di samping Hilal. Matanya menatap lurus langit-langit kamar.
“Lu curiga ngga sih, Lal?”

Hilal yang semula masih memainkan ponselnya, kini terpaksa harus menoleh ke arah Idan.
“Curiga apa?”

Idan melirik sekilas pada Hilal yang masih setia menunggu jawaban.
Tak mau membuat Hilal khawatir, akhirnya pemuda itu hanya menggeleng kecil. Idan takut ucapannya bisa membuat Hilal berpikiran yang tidak-tidak, apalagi saat ini Hilal tidak tinggal satu rumah dengan Fano.

Dari ayah, untuk abang ✔ Where stories live. Discover now