Bagian ke-delapan🌻; Pesan ayah untuk Hilal dan abang.

35.6K 6.8K 1.6K
                                    

bacanya pelan-pelan aja ya, supaya lebih nge-feel:')

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

bacanya pelan-pelan aja ya,
supaya lebih nge-feel:')

Happy Reading!

Pagi-pagi sekali Fano sudah dibuat gemetar ketika merasakan suhu tubuh ayah yang begitu panas juga bibirnya yang terlihat sangat pucat. Namun sebisa mungkin Fano tetap tenang, alun-alun ia melepaskan pelukan tangan ayah di perutnya, lantas beranjak untuk mengambil kompresan di dapur, sekaligus mengganti pakaian menjadi seragam sekolah, meskipun hatinya sedikit ragu untuk meninggalkan ayah sendirian di rumah.

“Ayah..”

Perlahan tangan Fano bergerak, menepuk pelan pipi ayah, bertujuan untuk mengecek keadaannya. Jujur saja kini hati Fano benar-benar gelisah, takut jika sesuatu yang buruk terjadi pada sang ayah.

“Yah.. Bangun dulu, ini Fano bawain kompresan buat ayah.”

Tidak perlu menunggu lama, akhirnya ayah membuka matanya perlahan, ia gerakan tangan kirinya untuk mengusap lembut pipi Fano dengan senyuman tulus yang terpancar di wajahnya.

“Abang udah bangun?” kemudian terkekeh kecil, “Jangan tatap ayah kaya gitu, hati ayah sakit lihatnya.”

Setelah mendengar ucapan itu dari mulut ayah, Fano mencoba menahan air matanya yang terus saja memaksa untuk keluar. Gelagat ayah berubah, ayah tidak seperti biasa, ayah yang seperti ini membuatnya tidak mampu untuk berpikir jernih. Fano takut kehilangan ayah. Ia sungguh tidak sanggup jika kemungkinan buruk itu benar-benar terjadi.

“Kenapa ayah ngga bilang kalau ayah sakit? kan kita bisa ke rumah sakit, Yah..”
Ucap Fano sembari menaruh handuk yang sudah ia celupkan pada air hangat di atas nakas.

“Abang kenapa belum berangkat?” bukannya menjawab, ayah malah mengarahkan pupilnya,–menatap jam di dinding kamar, “Tuh, udah jam setengah tujuh, nanti terlambat.”

Terlihat Fano menggeleng,
“Fano mau izin aja hari ini, mau temenin ayah.”

Kini giliran ayah yang menggeleng, ia kembali mengelus lembut pipi Fano menggunakan tangannya yang terbilang cukup kasar. Telapak tangan itu menyentuh permukaan pipi si sulung, mengusapnya dengan gerakan penuh ketulusan. Membiarkan telapak kasar itu bertengger manis di sana, hingga alun-alun rasa sesak ini kembali mendera dadanya, ayah tak sanggup untuk menahan banyaknya air mata yang terus menerus berlomba untuk keluar.

“Ayah ngga pa-pa, abang cepetan siap-siap. Maaf hari ini ayah ngga bisa kasih bekal untuk abang, bahkan ayah juga ngga punya uang untuk bikin sarapan, maafin ayah, ya?”

Tidak sanggup melihat air mata si sulung yang hampir jatuh, ayah lantas menarik tubuh itu kedalam dekapan.
“Selama abang hidup ayah belum pernah bahagiain abang, belum bisa kasih apa yang abang mau, maafin ayah ya, bang? Ayah bener-bener minta maaf sama abang, sama Hilal juga..”

Dari ayah, untuk abang ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang