Bagian keempat belas🌻; Abang kangen sama Hilal.

28.3K 5.6K 987
                                    

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Happy Reading!

Selama perjalanan pulang, Fano maupun Ibu tidak ada yang membuka suaranya selama kurang lebih lima belas menit, sampai akhirnya pertanyaan yang ingin sekali ibu tanyakan terlontar ketika mobil yang ibu kendarai berhenti saat lampu merah menyala. Sebelum bertanya, Ibu menoleh ke arah Fano yang tengah menyandarkan kepalanya pada jendela sembari menatap kosong pada jalanan.

“Fano.”

Satu kali panggilan ternyata tak membuat pemuda itu mengalihkan atensinya dari jalanan. Entah apa yang dipikirkan sehingga panggilan ibu sama sekali tidak terdengar.

“Fano.”

Kali ini ibu sedikit meninggikan suaranya, sampai-sampai tubuh Fano sedikit terlonjak dan seketika langsung menatap ke arah ibu. Bibirnya masih bungkam, suasana hatinya sedikit buruk sekarang.

“Ibu mau tanya sama Fano.”

Fano yang masih mengarahkan pandangannya pada Ibu hanya mengangguk singkat, mempersilakan Ibu untuk bertanya.

“Bima yang suruh kamu bersihin gudang?”

Setelah pertanyaan itu ibu lontarkan, seketika Fano langsung memalingkan pandangannya ke sembarang arah. Sambil berdeham kecil, Fano menggeleng tanpa kembali menatap ibu.

“Ibu mau Fano jujur.” perempuan itu sedikit mendekatkan tubuhnya pada sang putra, “Bima yang suruh kamu, kan?”

Fano menghembuskan napas panjang, lantas tersenyum kecil.
“Ngga, bu. Itu inisiatif Fano aja.”

Terlihat Ibu hanya mengangguk, dan sebenarnya ibu tahu kalau Fano berbohong. Tidak banyak bicara, perempuan paruh baya itu segera menancapkan gas kembali setelah lampu merah berganti hijau. Dalam hati, ibu benar-benar marah pada Bima, bisa-bisanya ia melakukan itu pada putranya. Padahal baru satu hari Fano menetap di rumahnya, tapi Laki-laki itu sudah berhasil membuat Fano sampai masuk rumah sakit. Gila, ibu tidak habis pikir dengan kelakuannya akhir-akhir ini.

Tidak perlu menempuh jarak yang terlalu jauh, akhirnya Ibu dan Fano pun sampai di rumah. Dengan gerakan cepat Ibu turun dan langsung membukakan pintu mobil untuk Fano, sebab ibu tidak mau sesuatu yang buruk terjadi lagi padanya. Ibu sayang Fano, sangat.

“Padahal Fano juga bisa sendiri.” ucap Fano dengan kekehan kecil diakhir setelah melihat betapa sigapnya ibu.

Tidak ada jawaban, ibu hanya tersenyum sembari mengusap lembut puncak kepala Fano. Selepas itu ibu langsung melangkahkan kakinya mendahului Fano, Hatinya benar-benar panas, tidak tahan ingin menampar laki-laki yang sudah 18 tahun ini menjadi suaminya. Langkah tegas ibu seketika menyita atensi Bima yang semula tengah berbaring di sofa ruang tamu sembari menonton siaran tv.

Dari ayah, untuk abang ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang