Bagian kedua puluh empat🌻; [Bonus Chapter] Dunianya sudah hilang.

38.5K 5.8K 1.2K
                                    

Happy Reading!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy Reading!

Kerasnya angin yang berhembus bersamaan tetesan air hujan sore ini, tak sedikit pun mengubah posisi pemuda dengan balutan koko putih yang tengah menunduk dalam-dalam di tengah-tengah gundukan tanah. Kepalanya menunduk dengan bahu yang bergetar hebat, sehebat tangisan nya yang seakan tengah berlomba dengan derasnya hujan. Tetesan demi tetesan terus jatuh tanpa jeda membasahi tubuh tak bertenaga itu, lemas sekali rasanya, tak bisa ia bayangkan bagaimana hari-hari selanjutnya yang akan ia jalani tanpa sosok manusia yang paling ia sayangi di bumi. Tidak kah terlalu kejam takdir mempermainkan nya?

Dari dulu, bahkan dari pertama kali matanya melihat dunia, dari pertama kali suara tangisnya terdengar, takdir tidak pernah mau bersahabat baik dengannya. Bayi mungil tanpa dosa itu dipisahkan dari kedua orang tua kandungnya, di simpan asal dalam kotak berukuran sedang dengan sehelai kain yang membungkus tubuh kedinginan itu.

Hingga sosok laki-laki paling berjasa di hidup nya pun datang, menyamar menjadi sosok ayah yang kuat dan tangguh. Ia asuh bayi itu dengan kasih sayang yang penuh, kasih sayang yang sama rata tanpa pedulikan banyaknya peluh.

Senyumannya dari dulu tidak pernah lepas, Ayah berikan seluruhnya untuk anak yang ia beri nama Hilal saat itu. Namun justru dengan bodohnya senyuman itu tidak pernah Hilal pedulikan, perhatiannya yang berlebih terkadang membuat Hilal muak, bahkan kasih sayangnya yang di berikan mati-matian tetap tidak nyata untuk Hilal. Pemuda labil itu selalu beranggapan ayah tidak pernah sayang padanya, apalagi ketika indera pendengarnya tak sengaja menangkap satu kalimat dari mulut ayah yang membuat hatinya mendadak sakit. Iya, sore itu ketika ia menghampiri ayah dan Fano di rumah kayu bawah pohon mangga, tak sengaja telinganya menangkap satu kalimat seperti ini, “Hilal bukan anak kandung ayah..” disitu lah ia mulai marah, kesal, sedih, semuanya menyatu menjadi satu tanpa tahu keadaan.

Setiap hari ia mencoba untuk biasa saja, menjalani hari layaknya dulu, tapi lagi-lagi ia gagal. Ternyata berpura-pura tidak tahu itu rasanya terlalu menyakitkan, Hilal tidak kuat. Tapi dengan hati yang tulus ayah terus meyakinkan Hilal bahwa dia benar-benar menyayangi nya, tidak ada yang namanya membeda-bedakan, semua sama rata.

Sekarang, bahu rapuh itu mulai merasakan kesepian, dia sendirian. Matanya menatap gundukan tanah dengan nisan basah bertuliskan 'Abhichandra', tangisan itu lagi-lagi terdengar, kali ini lebih pilu dari hari-hari kemarin sebab kedua semesta nya telah di ambil kembali oleh sang pencipta.

Kepala itu kembali menoleh ke samping kanan, ia tatap gundukan tanah baru dengan nisan basah bertuliskan 'Alfano Abhichandra' yang kini berhasil membuat Hilal menepuk pelan dadanya sebab rasanya sakit, sakit sekali sampai tidak mampu terdeskripsikan.

“A-ayah.. Abang bohongin Hilal, Yah..”
Tangisan nya semakin menjadi, air mata itu menyatu dengan derasnya hujan.

“Ayo marahin abang.. H-hilal mau marahin tapi ngga bisa..” tangannya terkepal kuat-kuat seraya menyalurkan rasa sakit yang ia rasa. “Hilal mau peluk aja.. Hilal mau peluk abang lagi.”

Dari ayah, untuk abang ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang