[ Part lengkap ]
Tidak peduli bagaimana tubuh itu di terpa angin, hujan, ombak, bahkan badai sekalipun. Punggung Ayah akan tetap menjadi yang ter-kokoh, meski kadang lutut itu membentur tanah berkali-kali, namun nyatanya dengan senyuman tulus ia ke...
Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.
Happy Reading!
Semenjak penyakitnya sering kambuh karena terlalu sering mengikuti kegiatan yang ada di sekolah, alhasil Fano lagi-lagi tumbang saat latihan upacara kelas untuk minggu depan di lapangan sekolah. Kebetulan sistemnya setiap minggu petugas upacara akan berganti dari kelas sepuluh sampai kelas dua belas, dan begitu seterusnya.
Siang ini Fano berhasil membuat satu kelas panik karena tubuhnya tiba-tiba saja ambruk ketika petugas sedang menaikan bendera merah putih. Sontak beberapa teman kelasnya berlari untuk membantu Fano yang sudah dipenuhi oleh keringat dingin siang itu.
Tak lama setelah memanggil beberapa petugas PMR untuk mengobati Fano, akhirnya si ketua memutuskan untuk menelepon orang tua Fano. Padahal di situ Fano hanya memberikan nomor ibu, tapi tiba-tiba saja Bima datang dengan tampang datarnya menghampiri Fano yang masih berbaring dengan bantuan tabung oksigen.
"Pulang."
Hanya itu yang Bima ucapkan saat langkahnya mulai berhenti tepat di samping ranjang yang Fano tempati.
Tidak mau banyak bicara dan membuat Bima marah, dengan segera Fano mencabut benda yang menempel di hidungnya dan langsung beranjak meski napasnya masih terasa berat. Melihat raut wajah Bima yang tidak mengenakkan, Fano hanya bisa menunduk, mengikuti langkah cepat kaki pria paruh baya itu hingga parkiran sekolah.
Beberapa detik sebelum membuka pintu mobil, entah sengaja atau tidak, Bima malah merogoh saku celananya untuk mengambil bungkus rokok dan tanpa memikirkan keadaan Fano, dia mulai menyalakan api pada bagian ujung benda yang sedang ia pegang itu.
Dalam hati, Fano ingin sekali memberi tahu atau sekedar mengingatkan Bima kalau dia tidak bisa menghirup asap rokok, apalagi dengan keadaannya yang sedang kambuh seperti sekarang.
"Kenapa? Mau protes?" Sembari memasukan kembali bungkus rokok, Bima menoleh kecil ke arah Fano dan tersenyum tengil.
Fano geming, pemuda itu tak sedikitpun berniat untuk merespon pertanyaan Bima barusan. Ia memilih untuk segera masuk dan mendudukkan bokongnya di samping kursi kemudi sembari masih berusaha mengatur napasnya.
Dan tanpa rasa bersalah sama sekali, Bima ikut masuk dengan keadaan rokok masih dia pegang di tangannya, sesekali dia pun menghirup dan menghembuskan asapnya ke sembarang arah.
"Nyusahin terus kamu, Fano."
Kalimat itu sukses membuat Fano mengarahkan seluruh atensinya pada Bima yang terlihat masih sibuk mengeluarkan mobil dari parkiran sekolah. Sebenarnya sudah bisa Fano tebak kalau Bima akan bersikap seperti ini, karena Fano pun sadar Bima memang tidak pernah menyukainya.