Bagian ke-sembilan🌻; Rasanya tak lagi sama.

35.5K 6.3K 653
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.



Happy Reading!



Langkah jenjang milik pemuda bertubuh kurus itu terdengar jelas dan begitu cepat di koridor sekolah, ia sempatkan untuk menyeka air mata terlebih dahulu yang perlahan jatuh sebab kenyataannya ia masih belum bisa menerima apa yang baru saja ia dengar. Tangisan itu tertahan, menimbulkan sesak yang begitu hebat di dadanya. Padahal baru beberapa menit lalu ia meninggalkan ayah sendiri di rumah, tapi kenapa berita seperti ini harus ia dengar? Kenapa tuhan begitu cepat merenggut ayah darinya?

Fano tidak bisa, Fano masih butuh sosok ayah.

Panggilan dari arah belakang tak sedikitpun Fano gubris, bahkan rasanya pendengaran Fano mulai dipenuhi dengan suara dengungan hebat yang kapan saja bisa membuat kepalanya meledak. Ia terus berlari sekuat tenaga tanpa pedulikan tatapan-tatapan bingung dari orang-orang yang melihatnya. Sudah sempat wali kelasnya menahan tangan Fano dan mencoba untuk menenangkan pemuda itu, namun nyatanya tenaga Fano lebih kuat, ia menepis kasar tangan itu.

Fano tidak peduli dengan tatapan orang-orang ketika melihat penampilan nya yang terbilang cukup kacau. Fano hanya ingin bertemu ayah, Fano ingin memastikan bahwa semua yang ia dengar itu bohong. Itu hanya lelucon yang mereka buat.
Namun kenyataan kini berhasil menamparnya, dunia seakan berhenti berputar, Fano menatap lurus ke arah dimana Hilal tengah menangis di hadapan jenazah ayah. Hatinya hancur, Fano tersungkur begitu saja. Tak ada setetes pun air mata yang jatuh dari pelupuk matanya, semua digantikan dengan perasaan sesak yang begitu dahsyat.

Alun-alun pemuda itu bangkit meski tertatih, sebab semesta nya telah diambil, semesta nya kini tidak ada lagi.

Fano menatap bahu Hilal yang bergetar, pemuda itu masih belum sadar dengan kehadiran Fano. Sampai akhirnya tangan Fano terulur, dengan gerakan cepat ia membawa daksa Hilal ke dalam dekapan, membiarkan sang adik menangis, melepas semuanya di sana.

“Abang...”

Tangisan itu semakin menjadi, Hilal membalas pelukan Fano lebih erat. Rintihan pemuda dalam dekapan Fano terdengar sangat memilukan, dan sungguh, Fano tidak sanggup, Fano tidak bisa melihat Hilal seperti ini.

“Ayah.. A-ayah tinggalin kita, bang..”

Hilal semakin menyembunyikan wajahnya pada bahu sang kakak, ia meremas asal seragam yang Fano gunakan seraya menyalurkan rasa sakit yang ia rasa.

Tidak tahu harus merespon bagaimana, Fano hanya terus mendekap daksa sang adik, mengusap lembut kepalanya, lantas berbisik dengan tangisan yang tertahan.
“Udah jangan nangis, kasihan ayah.. Masih ada abang, Hilal.. Abang yang bakalan sayang sama Hilal, abang bakalan jagain Hilal, abang bakalan jadi ayah untuk Hilal.. Jangan nangis, pliss.. Abang sakit lihat Hilal kaya gini..”

Dari ayah, untuk abang ✔ Where stories live. Discover now