Bagian keenam belas🌻; Rasanya seperti mau gila.

27.2K 5.4K 941
                                    

Happy Reading!

¡Ay! Esta imagen no sigue nuestras pautas de contenido. Para continuar la publicación, intente quitarla o subir otra.

Happy Reading!

Sudah menjadi rutinitas fano sekarang untuk mengabari atau saling mengirim pesan hingga larut malam dengan sang adik. Beberapa menit yang lalu mereka selesai bercerita tentang masa lalu hingga hal hal random pun dibicarakan lewat panggilan suara sekitar tiga puluh menit lamanya. Hilal bilang dia tidak sabar untuk mengunjungi tempat peristirahatan terakhir ayah bersama dengan Fano besok setelah pulang sekolah, dan lagi belakangan ini entah kenapa Fano begitu rindu pada ayah, tak jarang bayang-bayang ayah tiba-tiba muncul, menimbulkan perasaan sesak yang luar biasa hebat.

Seperti halnya sekarang, pikirannya masih dipenuhi oleh bayang-bayang ayah yang tengah tersenyum, tengah mengusap lembut kepalanya, bahkan usapan itu masih terasa nyata hingga sekarang. Fano benar-benar ingin pulang, sungguh. Jika mengingat masa lalu, rasa sakitnya benar-benar tidak bisa terbendung, begitu banyak kenangan yang ayah berikan untuknya.

Fano ingat sekali ketika masih di bangku SD ia bertengkar hebat dengan Hilal hanya karena perkara kaus kaki putih yang diperebutkan. Dari dulu Hilal memang dikenal dengan sifatnya yang keras kepala dan tidak mau kalah, juga Fano yang cengeng dan selalu memanfaatkan air matanya untuk mengalahkan Hilal.
Di situ kaus kaki Fano basah akibat terkena air hujan saat pulang sekolah, sedangkan Hilal yang memang cerdas, ketika tahu siang itu hujan, ia langsung bergegas membuka sepatu dan kaus kakinya lalu ia masukan ke dalam tas. Berbeda dengan Fano yang malah asik bermain air hujan tanpa memikirkan bagaimana hari esok.

Pagi itu rumah sangat berisik, ayah sebisa mungkin menenangkan tangisan Fano, dan menggunakan tangan satunya untuk mengelus pelan bahu Hilal karena sedari tadi tak hentinya anak itu berbicara dan memarahi Fano karena kelakuannya.

“Ini kan punya Hilal! Kaus kaki abang kemarin basah karena hujan-hujanan!”

Tak mau kalah, Fano membalas dengan suara bergetar karena menangis hebat.
“Tapi kan kita adik kakak, harusnya kan hilal pinjemin kaus kaki satunya buat abang!” Maniknya melirik sang ayah, “Iya kan, yah? Kata ayah kita harus saling berbagi, kan?” kemudian kembali menatap Hilal, “Dasar pelit!”

Mendengar itu Hilal langsung memukul tangan ayah, pupilnya bergetar dan sudah bisa dipastikan di detik berikutnya ia akan menangis. Ayah tersenyum menahan tawa sebab dugaannya benar, Hilal menangis sembari menghentakkan kakinya ke lantai.

“Kok ayah belain abang?! Ayah ngga sayang ya sama Hilal?!” tangannya bergerak melepas kaus kaki yang semula ia gunakan, lalu melemparnya ke arah Fano. “Nih, buat abang aja! Hilal ngga mau sekolah!”

Jika sudah begini, ayah hanya bisa menghembuskan napas panjang. Tangannya bergerak untuk mengusap lembut puncak kepala Hilal dan Fano yang masih sibuk menangis.

Dari ayah, untuk abang ✔ Donde viven las historias. Descúbrelo ahora