Bagian kedua belas🌻; Dipisahkan oleh jarak.

29.7K 5.7K 1.6K
                                    

Happy Reading!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Happy Reading!

Seperti sesuatu yang benar-benar tidak diakui, tidak pernah diinginkan, namun ada. Hadir sebagai manusia asing yang justru kembali dibuang, ditinggalkan, karena dianggap tidak penting dan bukan siapa-siapa. Ada atau tidaknya tak akan merugikan siapapun, kehadirannya tidak memberikan keuntungan, tapi kerugian. Tak jauh berbeda dengan sampah, hanya saja jauh lebih menyedihkan. Ya, Hilal sadar akan hal itu.

Sudah satu jam berlalu, namun Hilal tak kunjung menghentikan tangisannya. Ia duduk meringkuk di samping tempat tidur, meluapkan semua emosinya dengan cara menangis. Cara paling ampuh menghilangkan sesak yang terus menghujam nya tanpa jeda.
Sekarang ia kembali merasakan rasanya dibuang untuk yang kedua kali dalam hidupnya. Tidak apa-apa, sungguh. Hilal hanya merasa ia memang pantas mendapatkan ini semua. Sudah takdirnya dia sendirian.

Jadi jika peristiwa seperti ini terjadi, sudah seharusnya Hilal merelakan, cukup tahu diri tidak egois ingin merebut Fano dari ibu kandungnya. Jelas, memangnya Hilal siapa? Hanya bayi laki-laki menyedihkan yang ayah temui di mushola samping rumah ketika subuh, saat ayah bersiap untuk adzan di sana. Semua Ayah yang menceritakan sebelum akhirnya ayah menghembuskan napas terakhir di pelukan Hilal.

"Ayah.. Hilal sekarang sendiri.."
suara berat itu bergetar hebat,
"Hilal kangen ayah.."

Setelahnya kembali menyembunyikan wajah dalam lipatan tangan yang ia tumpu pada lutut. Hilal menangis dalam diam, tak membiarkan siapapun melihat sisi terlemahnya. Ponselnya sudah sepuluh kali berdering, namun pemuda itu tak sekalipun mempedulikan suara bising itu. Sekarang yang ada dipikirannya hanya satu, Hilal ingin bertemu ayah.

"Rumah ini kosong, Yah.. Sama kaya hati Hilal, rasanya hampa tanpa ayah dan abang." tangannya bergerak, mengusap air mata yang terus jatuh tanpa jeda. "Sebenernya Hilal ngga mau, Hilal pingin egois sekali aja untuk larang abang ikut sama Ibu. Tapi engga bisa, Yah.. Hilal ngga berhak buat lakuin itu."

"Hilal juga berusaha buat ngerasain ada di posisi ibu, pasti Ibu jauh lebih rindu sama abang. Iya, kan?"

Hilal menjeda ucapannya hanya untuk menarik kedua sudut bibirnya, membuat lengkungan indah yang terkesan begitu menyakitkan.
"Hilal juga kangen sama Ibu Hilal.. Dia pernah inget Hilal ngga, ya? Pernah rindu juga sama Hilal ngga?" pemuda itu kembali menunduk, "Mikirin itu cuma bikin hati Hilal makin sakit ternyata."

Alun-alun Hilal mengusap air matanya, ia beranjak dan meraih hoodie yang menggantung di dinding, lantas setelahnya ia pakai. Langkah jenjang itu membawanya untuk segera keluar, mengendarai sepeda dengan kecepatan di atas rata-rata. Semoga dengan bertemu ayah, ia bisa kembali bangun dan berjuang meski sendirian.

Hilal menstandarkan sepedanya di samping tembok besar, pemuda itu menarik oksigen sebanyak mungkin meski rasanya begitu menyakitkan. Langkah tak bertenaga itu kini sampai ditempat peristirahatan terakhir ayah, fokusnya ia arahkan pada papan bertuliskan 'Abhichandra' di sana. Tubuh itu perlahan merosot ke bawah, Hilal benar-benar rindu ayah.

Dari ayah, untuk abang ✔ Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang