Bagian ke-sepuluh🌻; Masih rindu ayah.

36.3K 6.1K 1.1K
                                    

Oops! This image does not follow our content guidelines. To continue publishing, please remove it or upload a different image.


Happy Reading!

Rasanya pagi ini sangat berbeda dari pagi ketika ayah masih ada. Biasanya ayah akan menjadi manusia super sibuk sebelum Hilal dan Fano bangun, dari menyiapkan sarapan, menyiapkan seragam untuk kedua putranya, sampai membersihkan rumah hingga benar-benar bersih. Setelah adzan subuh berkumandang ayah akan membangunkan Fano dan Hilal, lalu mengajak kedua putranya untuk shalat berjamaah di mushola samping rumah.

Namun kali ini Fano lah yang menggantikan semua aktivitas ayah ketika pagi hari. Pemuda itu harus bangun pukul empat pagi untuk membuatkan sarapan, menyiapkan seragam sekolah, dan merapikan rumah seperti yang biasa ayah lakukan. Sedikit terselip rasa pedih dalam hatinya ketika tak sengaja Fano melihat sarung milik ayah masih tergantung begitu saja di paku dekat kamar mandi. Tangan Fano bergerak dengan sendirinya, meraih sarung berwarna hijau tua, ia cium aromanya, lantas di detik berikutnya air mata jatuh begitu saja.

Fano rindu aroma tubuh ayah.

"Ayah.. Sekarang Fano cuma berdua sama adek. Do'ain Fano ya, Yah? Semoga Fano bisa ngelewatin ini semua sama adek." ia usap air matanya, "Fano kangen, Yah.." lalu kembali menangis tanpa suara dengan sarung ayah yang sengaja ia simpan di wajahnya.

"Fano ngga tahu harus gimana, Fano belum pernah nyoba untuk kerja karena fisik Fano lemah, Fano takut, Yah.. Fano takut nanti cuma jadi beban buat adek karena Fano ngga bisa apa-apa, Fano ngga bisa gantiin ayah, Fano lemah.." tangisannya perlahan berhenti, pemuda berkaca mata itu menghentikan tangisan sebab alun-alun telinganya menangkap suara adzan dari jauh.

"Fano sholat subuh dulu ya, Yah.. Nanti Fano curhat lagi."

Setelah berhasil menghapus seluruh air matanya, Fano menggantungkan kembali sarung ayah di paku, kemudian melangkah untuk membangunkan Hilal. Ia buka perlahan pintu kamar, lalu menggoyangkan bahu sang adik.

"Bangun.."

Tak membutuhkan waktu lama, akhirnya Hilal membuka matanya, kemudian merenggangkan tubuh dan langsung mengubah posisinya menjadi duduk. Ia usap matanya, lantas menoleh, ah.. ternyata Fano. Bukan sosok ayah yang ingin sekali ia lihat sekarang.

"Bangun, mandi abis itu langsung ke mushola." ucap Fano, masih setia memandang wajah Hilal.

Hilal hanya mengangguk singkat, membalas tatap sang kakak.
"Abang bangun jam berapa?" suara berat itu seketika membuat Fano terkekeh.

"Jam empat. Satu jam lebih lambat dari ayah, soalnya mata abang berat pas mau bangun."
Sambil mengusap kecil puncak kepala Hilal, Fano kembali beranjak menuju dapur. "Abang wudhu duluan, ya."

Tidak banyak bicara, Hilal kembali mengangguk. Ia tatap punggung sang kakak yang perlahan menjauh dan menghilang ketika pintu di tutup. Pemuda itu tersenyum, sangat bersyukur bisa memiliki kakak seperti Alfano Abhicandra. Sosok yang sama penyabarnya seperti ayah, sama-sama lembut dan perhatian. Seketika hatinya menghangat, Hilal benar-benar bersyukur.

Dari ayah, untuk abang ✔ Where stories live. Discover now