6. menjelang tengah malam

380 68 10
                                    

Senandika menghela napas begitu nama Saujeno terpampang di layar ponselnya untuk yang kelima kalinya malam ini. Ia sudah mengobrol dengan Saujeno selama empat hari dan anak itu kini jadi suka meneleponnya tanpa tahu waktu.

Sambil membereskan etalase kue, Senandika kembali memasukkan ponselnya ke dalam saku apron, mengabaikan panggilan Saujeno lagi setelah mematikan deringnya.

Jam di dinding sudah menunjuk ke angka sembilan dan Senandika sudah kepalang lelah untuk sekedar berbasa-basi dengan Saujeno lewat telepon.

Setelah semua tugasnya selesai, Senandika berpamitan duluan pada Juan yang sedang menaikkan bangku bersama Arsi dan Alkuna.

Begitu hendak keluar cafe, ponselnya kembali bergetar di saku celana. Karena sudah tahu siapa yang menelepon, Senandika memutuskan untuk mendiamkannya lagi. Namun, ketika tangannya sudah meraih gagang pintu dan melangkah keluar, ia termenung kaget melihat Saujeno yang menunggunya tepat di samping pintu cafe dengan ponsel di telinga. Nama Senandika dengan emoji kelinci terpampang di layarnya yang berkedip terang.

"Saujeno?"

"Saya nunggu kamu sejak jam delapan," ujar Saujeno sembari memasukkan ponselnya ke dalam saku jaketnya setelah memutuskan sambungan. "Kamu sama sekali gak angkat telepon saya."

"Saya gak tau kalo kamu nunggu disini..."

"Karena kamu gak angkat telepon saya." Saujeno tersenyum tipis, buat Senandika menatapnya canggung, merasa bersalah.

"Mana saya tau kamu nunggu disini? Kenapa gak masuk aja?"

"Nanti kamu gak mau ngelayanin saya. Saya kan maunya dilayanin kamu, bukan dilayanin Kak Juan."

Senandika memutar matanya, pura-pura bersikap kesal meskipun pipinya merona tanpa ia sadari.

"Kamu ngapain kesini?"

"Mau jemput kamu, lah."

"Ng-ngapain—"

"Sebelum Bang Raka yang jemput kamu, saya harus jemput kamu duluan. Saya serius soal ajak kamu jalan Sabtu besok, Dika."

"Sabtu besok saya tetap kerja, sampai malam pula. Saya gak punya waktu luang buat senang-senang."

"Ya udah, kalau gitu saya aja yang kesini. Saya yang temani kamu kerja."

"Saujeno, tolonglah jangan bikin saya susah."

"Saya gak niat bikin kamu susah, Senandika," ia tersenyum, jemarinya tanpa sadar terulur menyentuh jemari Senandika yang terasa dingin, mungkin karena pendingin ruangan di cafe yang disetel terlalu rendah. "Saya cuma pengen habisin akhir minggu saya sama kamu. Itu aja."

Senandika terdiam menatap Saujeno yang tengah tersenyum simpul. Mulutnya sudah terbuka untuk mengatakan sebaris kalimat penolakan, namun tak ada suara yang keluar dan bilah tipisnya kembali dikatupkan dengan gugup. Ia merasa perbuatannya sudah terlalu kasar pada pemuda seumuran di hadapannya itu. Bolehkan ia membiarkan egonya mengalah sesekali? Satu kali takkan mampu menyakiti, 'kan?

Saujeno mengernyit penasaran, dengan mata sipitnya itu ia menatap Senandika lembut, menandakan bahwa ia akan setia menunggu hingga Senandika balas berbicara.

Dalam hitungan detik, pertahanan Senandika seketika runtuh. Tatapan mata tajam namun lembut milik si pemuda tampan sukses menembus pintu hatinya.

"Saujeno, kamu beneran suka sama saya?" Akhirnya, si manis membuka suara yang lantas disambut senyum dengan lengkungan indah di mata sipit yang sejenak buat Senandika terkesima.

Bagus. Sedikit lagi.

"Tentu aja."

Senandika seketika menyesal sendiri malah bertanya. Sekarang wajahnya mulai terasa panas dan pastinya bakal merona tak karuan. Sementara Saujeno yang melihat Senandika membuang muka cuma bisa terkekeh dan membenarkan dalam hati bahwa; Senandika memang semanis gula.

Senandika - [nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang