11. siksaan keputusasaan

436 67 9
                                    

Di awal Desember, Saujeno mulai berani untuk mampir ke rumah Senandika setelah mengantarnya pulang dari cafe.

Entah mengapa, Yuta tidak lagi memperbolehkan Senandika bekerja di atas pukul tujuh. Jadi, mau tidak mau, Senandika akhirnya pulang tepat pukul tujuh, dan karena kebetulan Saujeno memang sering mengerjakan tugas disana akhir-akhir ini, ia pun mengantar Senandika pulang dan sekalian melanjutkan tugasnya di rumah Senandika.

Seperti saat ini, Saujeno sedang mengerjakan tugas fisika, begitu juga Senandika dengan kuis bahasa Indonesianya. Namun, kuis berisi tujuh soal essai itu belum juga selesai Senandika kerjakan dalam tiga puluh menit belakangan. Biasanya, tujuh soal bisa selesai ia kerjakan dalam dua puluh menit, namun nyatanya kertas di tangannya itu masih kosong melompong, masih bersih belum tergores tinta pena sedikitpun.

"Saujeno."

"Ya kenapa, Na?"

"Kaki saya pegal dan saya gak bisa kerjakan soal kalau kamu gak cepat pindah dari paha saya."

Iya, Senandika gak bisa mengerjakan kuisnya karena Saujeno yang merebahkan diri dengan pahanya sebagai bantal.

"Sebentar lagi selesai, Na. Saya tinggal satu soal tentang pegas ini, susah sekali." Gumamnya sebagai jawaban, lanjut mencoreti buku tulisnya dengan tinta hitam.

"Mana coba lihat," Senandika merundukkan kepalanya hendak melongok soal di buku tulis yang Saujeno pegang. "Itu mudah. Kamu tinggal cari konstantanya aja. Lihat susunan pegasnya lalu tinggal kamu jumlahkan."

"Begitu mudah?"

"Iya, begitu."

"Kamu pintar sekali, Na."

Senandika tidak berusaha menahan senyumnya setelahnya. Ketika ia hendak menjauhkan diri, Saujeno menahannya duluan dengan memegang tengkuknya. Tangannya kemudian merambat menyentuh pipi putihnya, terus turun hingga berhenti di bibirnya.

"Senandika."

Senandika tidak menjawab, ia memejamkan matanya, menikmati sentuhan yang Saujeno berikan di bilah tipisnya.

"Sudah genap satu bulan, kapan kamu bisa jawab perasaan saya?"

Mata Senandika bergerak terbuka, "Benar sudah satu bulan? Saya bahkan sudah hilang hitungan."

Saujeno tersenyum, "Iya. Satu bulan, tepat hari ini."

Tentu saja Saujeno ingat dan menghitungnya. Rasanya, ia bosan juga harus terus berlaku manis dan terus menggoda Senandika begini. Kapan anak ini baper sih?

"Jadi, kapan?" Saujeno bertanya lagi, kini tangannya sudah berada di tempat yang lebih sopan.

Memeluk pinggang Senandika, apakah itu bisa dikatakan lebih sopan? Oke, terserah Saujeno saja.

"Saujeno, kamu serius?"

"Serius sekali, Na."

"Satu bulan sudah kamu habiskan bersama saya, apa Saujeno sudah mengerti mengapa hidup saya rumit?"

"Sudah."

"Kenapa demikian?"

Saujeno terdiam dan Senandika hanya bisa tersenyum kecil, hatinya merasakan sedikit bercak kecewa dari jawaban yang Saujeno berikan untuknya; sebuah kebungkaman.

"Belum, Saujeno. Kamu belum mengerti," Senandika tersenyum kecewa. Tangannya terulur mengusap kepala Saujeno. "Saya gak mau kamu lebih repot lagi dari ini, Saujeno. Berhenti suka saya, atau kamu—"

Senandika yang kini ganti bungkam ketika Saujeno menarik tengkuknya dan menaikkan tubuhnya, menumpu tubuhnya dengan siku sementara Senandika langsung mencari pegangan ke bahu Saujeno, meremasnya ketika merasakan bibir Saujeno menyentuh halus permukaan bibirnya.

Senandika - [nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang