15. sanggup atas kemenangan (atau kekalahan?)

378 61 21
                                    

"Ayo pulang, udah mau jam delapan."

"Oh ya? Gak terasa ya. Kupikir masih jam enam."

"Memang begitu, kalau kencan pasti lupa waktu."

Senandika mengembangkan senyumnya ketika Saujeno memakaikannya helm seraya merapatkan jaket yang dikenakannya.

"Aku antar ke rumah Bang Raka? Atau ke rumah kamu?"

"Rumah Bang Raka, tas ranselku masih disana."

"Oke, mari naik."

Setelahnya, Saujeno pun memacu perlahan motor matic milik kakaknya. Sesekali ia melirik wajah kekasih barunya itu melalui kaca spion.

"Kamu memang sering main kerumah Bang Raka, Na?" Saujeno bertanya setelah menghabiskan lima belas menit perjalanan dalam keheningan. Senandika terlihat setengah mengantuk dan sedari tadi menyandarkan wajahnya di bahu Saujeno.

"Yah... hanya pada waktu-waktu tertentu aja." Senandika tersenyum menjawab, matanya yang berkedip sayu itu tertangkap sejenak oleh mata tajam Saujeno melalui spion.

"Ada alasannya?"

"Kenapa kamu mau tau?"

"Karena aku pacarmu?"

"Kenapa nada bicaramu kayak bertanya begitu?"

"Ya, gak kenapa-kenapa sih. Karena aku pacarmu, kupikir kamu udah paham gitu kenapa aku perlu tau."

"Kamu cemburu?"

"Nampak begitu?"

"Iya."

"Ya itu kamu tau."

"Saujeno cemburu!!"

"Aku pacarmu!"

Melihat dan mendengar tawa Senandika entah mengapa meredakan sedikit kecemburuannya yang juga entah mengapa timbul dalam hati kecilnya. Tetapi tetap saja, bukannya ia tidak sadar kemarin hari kekasihnya muncul di sekolah dengan mengenakan seragam milik Raka. Bukannya asing bagi Saujeno melihat Senandika memakai dan menggunakan barang-barang milik Raka seperti laptop, sepatu, dan tas ransel milik kakak kelasnya itu dengan begitu kasual seolah mereka berdua tinggal satu rumah. Pasti ada yang tak Senandika ceritakan padanya.

"Nana, gak mau cerita?"

Senandika mendadak bungkam, kedua tangannya yang dimasukkan ke dalam saku hoodie Saujeno dikepal erat-erat.

"Gak mau cerita sama pacarmu ini?"

"Haish, kamu jadi berbangga diri jadi pacar aku, ya?" Senandika tertawa ringan, sedikit mengulur waktu berharap Saujeno tidak berniat membahas topik itu lagi.

"Punya pacar cantik dan manis begini harus dipamerin. Termasuk ke kamu sendiri, seluruh dunia kalau perlu."

Senandika sontak tersipu malu, membuang pandang ke samping karena ia tahu Saujeno dapat melihat wajahnya yang tersipu melalui kaca spion.

Senandika malu!

"Nana?"

Ia kemudian tersadar ketika merasakan Saujeno menepuk-nepuk punggung tangannya dari luar hoodie, yang lantas membuat perasaan Senandika menjadi sedikit lebih ringan. Ia kemudian menghela napas, kembali menyandarkan pipi ke bahu sang kekasih sebelum bersiap memulai cerita.

"Bunda mau menikah lagi," Senandika tersenyum tipis memulai ceritanya, tetapi Saujeno mengerti dan menangkap adanya beban terselip dari nada bicaranya. "Aku emang belum pernah cerita ke kamu. Bunda yang sekarang jadi ibuku itu bukan ibu kandung. Ibuku meninggal waktu aku masih kecil, lalu ayah menikah lagi. Lalu—" Senandika terdengar tercekat, buat Saujeno panik ketika melihat mata indah kekasihnya itu berkaca-kaca dari spion. "—ninggalin aku. Itulah alasan utamaku gak mau terima kamu, Saujeno. Aku takut kamu tinggalin aku seperti ayah meninggalkan aku waktu aku udah mulai sayang sama kamu. Karena aku punya kekurangan. Aku gak normal. Dan ayah gak bisa menerima. Kuharap kamu paham, kalau aku—"

Senandika - [nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang