1. taruhan dan balas dendam

1.5K 105 7
                                    

Berawal dari Bayu yang datang dengan gerombolan geng motornya ke arena balap malam itu, tujuan utamanya udah tentu untuk balapan, sekaligus memamerkan mainan barunya pada kawan-kawan geng motor lainnya.

Semua orang menyoraki Bayu yang memiliki mainan baru, terkecuali seorang pemuda yang hanya duduk diam di pojok kursi pinggir arena, meminum soda kalengnya dengan emosi kentara hingga tak bersisa. Ia mendengus ketika melihat wajah Bayu yang tengah tersenyum sok membanggakan motor barunya padanya, jelas sekali sedang mencoba meledeknya.

Mendesah kesal, ia melempar kaleng sodanya yang telah habis ke dalam tong sampah dekat tempatnya duduk, menghasilkan suara kelontang yang cukup keras, menarik perhatian Bayu sehingga pemuda tampan berwajah pangeran itu menengokkan kepala ke arahnya.

Ketika mereka bertemu tatap, Bayu langsung menyeringai sementara pemuda itu hanya mendengus kesal.

"Aww, Saujeno. Diam aja di pojokan? Biasanya gue datang, lo lagi balap—"

"Bacot," pemuda tadi—yang Bayu panggil Saujeno—memotong sebal, memelototi Bayu dengan mata sipitnya yang dilapisi kacamata baca. "Si tolol pamer mentang-mentang punya mainan baru."

"Yoi lah, punya barang bagus ya kudu dipamerin, biar pada iri, terutama lo," Bayu menaruh bokongnya di samping Saujeno, merangkul bahunya main-main seraya terkekeh mengejek. "Kapok? Ditampar bokap karena ketauan balapan, kapok?"

"Bacot banget lo, sumpah, Bay," Saujeno berdecak kesal lagi sambil menepis lengan Bayu dari bahunya, mendorongnya menjauh. "Kalau motor gue gak disita, udah gue ajak balapan lo daritadi."

"Halah, kayak berani aja lo, Jen," Bayu menyeringai, sedetik kemudian tertawa melihat wajah kusut sahabatnya yang makin tertekuk itu. "Sampai kapan Rebecca bakal ditahan?"

Saujeno mendengus, menghela napas sembari menyandarkan punggungnya di sandaran kursi tribun arena. "Sampai waktu yang tidak ditentukan."

Detik berikutnya, Bayu tertawa terbahak-bahak, terpingkal-pingkal, bahkan sampai kakinya naik ke atas bangku saking gelinya ia tertawa.

"Yhaaaa, Saujeno kasian, yhaaa!! Gak bisa balapan lawan Kak Lucas lagi, YHAAAA!!"

"BACOT GOBLOK!!" Saujeno balas berseru kesal, memukul bahu Bayu dengan sepenuh hati, betul-betul kesal sekali dengan sahabatnya (yang dengan sialnya harus ia akui) satu ini. "Kalo gak gara-gara lo gegabah sama taruhan Bang Ichan, gua gak bakal kena batunya, goblok!!"

"Dih? Salah gue? Salahin noh Haedar, siapa suruh cepu ke bokap lo?"

"Haedar aja gak turun ke arena!"

"Justru karena itu, dia gak turun ke arena karena tau bokap lo bakal nangkep basah lo yang lagi balapan!"

Saujeno mendengus kasar, kaki panjangnya menendang sandaran kursi yang ada di depannya saking kesalnya sampai-sampai besi penyangga kursi bergetar dan terdengar suara retak tak mengenakkan telinga. Ia tidak mau menyalahkan pemuda yang adalah sepupunya itu, tapi kalau memang benar pelakunya adalah Haedar, wah Saujeno takkan habis pikir. Bendera perang pasti akan langsung terkibar di antara mereka.

"Heh, tolol, noh di garasi gue ada samsak sama sarung tinju. Kalo mau emosi di rumah gue aja, jangan disini. Ngerusak fasilitas lo adanya."

Saujeno berdecak tanda tidak peduli, memasukkan tangannya ke dalam kantong celana jeansnya. "Kesel abisnya."

Bayu jadi ikutan menghela napas melihat sahabatnya begitu frustasi karena harta kesayangannya disita oleh ayahnya. Saujeno itu paling sayang sama Rebecca alias motor sport yang ia beli dengan hasil jerih payahnya sendiri. Saujeno menabung sekitar tiga tahun untuk membeli motor tersebut. Setidaknya, meskipun bukan motor baru, Saujeno bangga karena R15 yang ia beli adalah hasil dari kerja kerasnya sendiri, tidak seperti Bayu yang tinggal minta dan gesek kartu lalu langsung dapat apa yang ia mau. Kehidupan Saujeno jauh dari kata mewah seperti Bayu meskipun kedua orang tuanya termasuk dalam kategori mampu. Memang sial, anak itu sudah berwajah seperti pangeran, hidupnya pun seperti anak kerajaan.

Senandika - [nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang