8. kencan di hari sabtu

365 64 33
                                    

Siang ini pukul sepuluh, Saujeno sudah memarkirkan motor milik kakaknya di depan pagar rumah Senandika.

Dengan senyum bulan sabitnya, ia menyambut Senandika yang baru aja melangkah keluar pagar, hari ini nampak manis sekali dengan balutan kemeja kotak-kotak hitam dan cardigan rajut berwarna putih tulang, dilengkapi sebingkai kacamata besi yang nampak apik sekali bertengger di hidung bangirnya.

"Selamat pagi." Saujeno menyapa, yang cuma dibalas senyum tipis Senandika sambil menerima helm. "Cantik banget sih. Udah ada yang memiliki belum ya?"

"Diam." Wajah Senandika langsung berubah cemberut sebelum kekehan keluar dari mulut Saujeno.

Dengan iseng ia pun melingkarkan lengannya di sekitaran pinggang belakang Senandika sebelum ditarik mendekat.

"Saujeno!"

"Rambut kamu berantakan, Dika," Saujeno tersenyum sembari merapikan rambut Senandika ke kanan kiri sebelum mendorong mundur kacamatanya yang hampir merosot menuruni hidung kecilnya dan memakaikannya helm. "Nah, pacar Saujeno udah cantik pol. Ayo naik."

"Haish, saya bilang saya gak cantik! Saya itu ganteng!" Ia menghentak-hentakkan kakinya kesal sebelum naik ke jok belakang. "Dan saya bukan pacar kamu!"

Saujeno cuma tertawa seraya mengatur kaca spion, kebetulan memantulkan wajah Senandika yang masih saja ditekuk tetapi bibirnya melengkung manis.

Lagaknya aja kesal, sebenernya mah tersipu, cibir Saujeno dalam hati. Duh tapi gemes banget, astaga!!

"Jangan lebar-lebar senyumnya, nanti matahari minder sama kamu," celetuk Saujeno sembari menyalakan motor, sontak buat Senandika menunduk menyembunyikan wajahnya di balik bahu Saujeno.

"A-apaan sih?! Siapa yang senyum?!"

"Kamu tadi—"

"Jalan, Saujeno!"

"Wah, gak sabar ya mau kencan sama—"

"Ah! Saya gak jadi deh kencan sama kamu!"

Begitu dirasa Senandika hampir aja hendak beranjak turun, Saujeno langsung menarik kedua tangannya dan ia lingkarkan di perutnya.

"Jangan ngambek," kekehnya. "Peluk saya, takutnya jatuh."

"Emangnya saya anak kecil?!"

"Maksudnya saya yang jatuh. Oleng lihat kamu sebegini cantiknya."

Tanpa bantahan lagi dari Senandika—karena sudah kepalang merona untuk sekedar merespon—motor matic milik Danar pun melaju meninggalkan halaman depan rumah Senandika, menembus sinar mentari yang untungnya masih berpendar hangat di siang hari pukul sepuluh.

Wajah Senandika masih merengut, tapi tidak sekusut tadi waktu digoda habis-habisan oleh Saujeno.

Senandika mendadak merasa tertarik melirik kaca spion yang memantulkan rahang tegas milik Saujeno yang sedang fokus mengendarai motor. Diam-diam ia tersenyum sebelum kembali bersembunyi di balik bahu Saujeno ketika pemuda itu membalas senyumannya.

Tak lama karena merasa kurang nyaman, Senandika mengendurkan pelukannya dan hampir menarik lepas tangannya jika saja Saujeno tidak menahannya, mengusap punggung tangannya sesaat setelah mereka berhenti di lampu merah.

"Jangan dilepas."

Senandika gak membalas, wajahnya udah kepalang merah melihat senyum Saujeno yang ia layangkan lewat pantulan kaca spion.

"Dika."

"Apa?!" Ia menyahut sedikit ketus, menutupi rasa malunya.

"Kita lagi kencan 'kan?"

Senandika - [nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang