19. keinginan kecil

343 50 3
                                    

Senandika hanya bisa menatap pasrah pada Saujeno yang kini tengah duduk di hadapannya di meja kantin.

Memutuskan untuk mengabaikannya, Senandika terus mengunyah batagor pesanannya dan membiarkan Saujeno menatapinya selama ia makan.

Saujeno ini kayak binatang ngeyel, makin diusir malah makin mendekat. Buat Senandika lelah sendiri dan akhirnya memutuskan untuk membiarkannya berbuat semaunya asal tak menganggu ketenangannya.

Usia kehamilanya yang sudah memasuki minggu ke sembilan mulai terasa berat. Baby bumpsnya mulai sedikit terlihat dan ia jadi sering mengalami morning sickness. Kalau soal perutnya yang membesar, Senandika masih bisa menutupinya dengan seragam, tapi soal muntah-muntahnya, ia cuma takut akan mual-mual di sekolah dan terpaksa harus bulak-balik kamar mandi dan berakhir terkulai lemas di UKS.

Selesai makan, ia beranjak duluan tanpa berkata apapun pada Saujeno. Pemuda itu sontak meninggalkan piringnya yang masih terisi setengah untuk mengejar Senandika yang ternyata berjalan cepat menuju toilet dan memuntahkan isi perutnya di bilik pojok.

"Kenapa masuk sekolah kalau sakit, Dika." Saujeno memijat tengkuk Senandika dengan lembut lalu mengusap punggungnya pelan.

"Sakit..." Senandika meringis sebelum menjauhkan wajahnya dari pinggir kloset dan menyenderkan punggungnya pada dada Saujeno yang berjongkok di belakangnya.

Sejenak Senandika terlena dengan usapan Saujeno pada perutnya, seolah hormon kehamilannya kini tengah mengambil alih kesadarannya sejenak.

"Saya antar ke UKS ya? Kamu pucat banget."

Perlahan, Saujeno menarik berdiri tubuh Senandika dan memapahnya berjalan. Sesampainya di UKS yang untungnya tidak jauh dari kantin, Senandika kembali memuntahkan isi perutnya di wastafel.

"Istirahat aja ya. Saya temenin."

Senandika mengangguk lemas seraya dibantu naik ke kasur oleh Saujeno, merebahkan diri sembari mengusap-usap perutnya.

"Pakai minyak kayu putih ya? Biar mualnya reda."

Senandika kembali mengangguk lalu ia membuka kancing seragam sadariahnya satu per satu, membalurkan minyak kayu putih di seluruh permukaan perut dan dadanya.

Perlahan Saujeno menyadari bahwa tubuh Senandika terlihat lebih berisi dari sebelumnya, atau hanya perasaannya saja? Tapi perutnya terlihat sedikit menggembung, apakah ia masuk angin? Kembung?

Senandika tanpa sadar menghela napas lega begitu merasakan Saujeno mengusap lembut perutnya dari luar kausnya terakhir kali sebelum mengancingkan lagi seluruh seragamnya.

"Udah enakan?"

Senandika diam tak menjawab. Matanya terpejam dan napasnya terdengar menderu pelan lebih teratur.

"Saya belikan minum dulu ya. Kamu harus minum obat supaya mualnya reda."

Belum sempat Senandika merespon, Saujeno sudah pergi melangkah meninggalkan UKS, meninggalkan Senandika yang kembali mual dan memuntahkan isi perutnya di wastafel UKS.

Saujeno yang baru kembali dari kantin dan mendengar suara dari kamar mandi langsung berlari memeriksa Senandika yang kini terduduk lemas di lantai UKS sembari memegangi perutnya. Pemuda itu pun buru-buru menyangga tubuh Senandika yang hampir jatuh tergeletak di lantai toilet.

"Pulang aja ya? Mau saya antar pulang?"

Senandika menggeleng dengan mata terpejam, tangannya tanpa sadar meraih tangan Saujeno dan diletakannya di atas perutnya.

"Usap..." lirihnya sembari mendusalkan wajah pada ceruk leher Saujeno juga merapatkan tubuhnya.

Saujeno yang bingung dengan apa yang terjadi pada Senandika cuma bisa merengut sebelum rintihan Senandika menarik kesadarannya kembali, maka dengan segera ia mengangkat tubuh Senandika dan diletakannya di atas ranjang.

Senandika - [nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang