9. kemelut pikiran

305 56 16
                                    

Senandika menatap Raka takut-takut dari balik bulu mata lentiknya. Helaan napas berat kemudian terdengar dari lawan bicaranya yang duduk di hadapan.

"Saya udah bilang 'kan, Kamis kemarin saya luang, saya bisa jemput kamu kesini, tapi kenapa malah tetap pulang sama Saujeno?"

Senandika berkedip bingung sejenak sebelum ia menunduk memainkan jari-jari tangannya.

"Saya gak enak sama dia, Kak Raka. Dia udah nunggu saya selama satu jam disini, masa saya dengan seenak hati usir dia dan malah nunggu Kakak jemput?"

"Tapi itulah yang harus kamu lakuin, Dika." Raka terdengar menghela napasnya di tengah kalimat nasihatnya. "Harusnya kamu telepon saya. Harusnya—ah, sudahlah. Kamu gak akan dengar saya, 'kan? Buktinya kamu gak bicara apa-apa ke saya tentang kencanmu sama dia kemarin dan kenapa kamu mau-mau aja diajak dia begitu?"

Senandika hanya mampu menghela napasnya seraya menahan matanya yang sudah berkaca-kaca agar isinya tidak tumpah.

"Saya gak bakal terlena juga sama dia, Kak Raka. Saya gak sepenuhnya percaya sama dia. Saya gak percaya sama perkataannya soal dia yang serius sama saya. Saya cuma—"

"Dika," Raka kembali menghela napasnya, memotong ucapan Senandika, "Jujur aja sama saya. Apa yang kamu rasain tentang Saujeno? Jujur aja, saya mau dengar."

Kini Senandika meremat apron yang ia kenakan, bergerak sedikit gelisah di kursinya.

"Dika?"

"Saya senang Saujeno berada di dekat saya," ungkapnya pada akhirnya, perlahan membuat beban di pikirannya terangkat sedikit seiring dengan keluarnya kalimat pengakuannya yang berikutnya. "Saya senang waktu ada Saujeno menemani. Saya senang waktu Saujeno mengaku mau jadi teman saya dan menerima saya apa adanya. Kak, untuk pertama kalinya saya merasa senang saat ada orang lain bicara sama saya, tanpa pandangan merendahkan, tanpa kalimat celaan. Saya senang, Kak. Senang sekali."

"Oh ya? Apa kamu udah beritahu dia soal itu?"

Senandika sontak bungkam mendengar pertanyaan Raka barusan. Kepalanya kembali ia tundukkan sementara tangannya memilin tali apron dengan gugup.

"Saya belum cukup berani untuk memberitahu hal itu pada Saujeno, Kak." Jawabnya. "Lagipula, kita belum sampai sejauh itu sampai saya harus beritahu dia soal itu. Saya cuma anggap dia sebatas teman, gak lebih, dan gak akan terjadi lebih dari itu."

Raka hanya mampu menghela napasnya lagi kemudian, tangannya terulur untuk menepuk pucuk kepala Senandika dan diusapnya dengan lembut.

"Kamu senang, Dika?"

Anggukan kecil didapat Raka dari Senandika yang tengah menggigit bibirnya tanda sedang gugup. Pemuda yang lebih tua hanya bisa menghela napasnya lagi sebelum menarik tangannya dan meletakannya dengan tenang di atas meja.

"Asal jangan terlena, gak apa-apa. Jaga dirimu sendiri, Dika. Karena ketika kamu udah jatuh terlalu dalam, ketika kamu udah melangkah terlalu jauh, ketika kamu udah terlena begitu nyaman, disaat itulah saya gak bisa menolong kamu. Tolonglah dirimu sendiri, Dika. Jangan sampai rasa sakit menghampiri perasaanmu."

Dan Senandika hanya mampu mengangguk paham hari itu.

Dan Senandika hanya mampu mengangguk paham hari itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Senandika - [nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang