7. jumat barokah

355 64 22
                                    

Jumat siang, Senandika mendapati Saujeno berdiri di depan kelasnya sambil bersedekap tangan, tersenyum padanya begitu tubuh kurusnya berdiri di ambang pintu, menatapnya dengan mata sipitnya yang tajam tapi tetap memancarkan kelembutan untuknya itu.

Beberapa teman perempuan mulai berbisik-bisik rumpi, jelas membicarakan sang pangeran sekolah yang terkenal bermulut buaya sedang menunggu Senandika Aditya—si dingin irit bicara.

"Ada keperluan apa?" Senandika bertanya dengan nada berhati-hati, melirik segerombolan anak perempuan yang kini kentara sekali sedang memperhatikan interaksi mereka.

"Mau ajak kamu makan siang."

Senandika menghela napasnya pelan, lalu menggeleng sama pelannya. "Gak."

Bahu Saujeno sontak merosot lesu, "Kenapa gak?"

"Saya lupa bawa uang saku."

"Saya yang bayarin kamu."

"Yang kemarin aja belum saya bayar. Kamu makan sendiri aja."

Begitu hendak berbalik memasuki kelas, Saujeno langsung menahan tangan Senandika dan menariknya menyusuri koridor kelas, membuat banyak pasang mata langsung menatap mereka penasaran.

"Sa-saujeno!"

"Saya gak terima penolakan, Dika," Saujeno menarik kembali tubuh Senandika hingga keduanya kini berjalan bersisian masih dengan jemari yang bertaut ringan. "Hari ini saya mau makan siang sama kamu, titik gak pakai koma."

"Harus banget sama saya?" Senandika menyergah cepat, menyadari banyak tatapan mata terpaku padanya membuatnya sedikit merasa canggung, tapi ia belum sadar kalau jemari lentiknya masih berada dalam genggam hangat milik Saujeno.

"Karena wajib hukumnya pacar saya nemenin saya makan."

"Haaahh?" Senandika berujar bingung, menyentak tangan Saujeno begitu mereka hampir sampai di gerbang kantin. "Pacar apanya?"

"Kamu 'kan pacar saya?"

"Mana ada?! Gak mau saya jadi pacar kamu!"

"Aish, saya udah lapar, Dika. Sekarang bukan saat yang tepat untuk berdebat soal status kita. Lihat, mumpung kantin sepi, kita gak perlu lama mengantri. Ayo cepat, kamu mau makan apa?"

"Saujeno—"

"Makan nasi goreng aja ya? Saya lapar, habis jam matematika. Pusing sekali, energi saya terkuras semua. Atau kamu mau bakso?"

Belum sempat Senandika menolak, Saujeno sudah mendorong punggungnya ke kios nasi goreng Bude, memesan menu yang sama seperti tempo hari waktu Senandika lupa membawa dompet.

"Aish, Saujeno. Saya bahkan belum sempat menolak."

"Menolak pun tidak akan saya terima. Senandika, jadi pacar Saujeno itu harus selalu menerima—aduh!!"

Senandika mendelik pada Saujeno yang meringis akibat kakinya diinjak Senandika dengan sepenuh hati. Beberapa anak lelaki dan perempuan yang mengantri di belakang mereka bahkan sampai menatap kedua pemuda itu bergantian dengan penasaran.

Setelah selesai, Saujeno membawakan nampan berisi dua piring nasi goreng dan dua gelas es teh manis tersebut menuju kursi yang berada tepat di tengah kantin; tempat biasa Saujeno makan siang bersama Haedar dan Bayu.

"Saujeno, bisa gak saya makannya di kursi pojok aja?" pintanya ketika menyadari banyak pasang mata kini tengah menatapinya.

"Udah ada yang nempatin," Saujeno membalas dengan menunjuk kursi yang dimaksud Senandika tadi. Disana sudah ada dua orang murid kelas sepuluh yang menempati kursi yang dimaksud. "Disini aja sama saya. Di tengah, di pojok, di pinggir, gak ada bedanya."

Senandika - [nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang