10. hujan di jumat sore

306 59 4
                                    

Hari ini, Saujeno menghampiri Senandika ke kelas seperti biasa seusai pulang sekolah. Niat awalnya ingin mengerjakan tugas di cafe, memberitahu Senandika bahwa mungkin ia akan menetap di tempat hangat itu selama beberapa jam sebelum mengantarnya pulang.

"Dika."

"Ya?"

"Semalam istirahatnya cukup? Tidurnya nyenyak?"

"Iya. Cukup sekali, karena kamu gak telepon. Saya tidur cepat."

Obrolan mereka hanya sebatas itu sebelum Senandika melangkah duluan meninggalkan gerbang sekolah. Hari ini sekolah dipulangkan lebih cepat karena hari Jumat. Biasanya, pukul setengah satu para siswa sudah diperbolehkan untuk pulang. Kalau Senandika mulai kerja pukul dua, ia mungkin akan diperbolehkan oleh Yuta untuk pulang pukul delapan, meskipun sebetulnya mau pulang jam berapapun pasti dibolehkan.

"Dika, saya antar—"

"Saya gak ke cafe hari ini." Potongnya.

"Loh? Kenapa? Libur?"

"Karena kamu ngikutin saya," Senandika menyahut cuek, tidak membalik wajahnya sedikit pun menghadap Saujeno, terus melangkahkan kakinya menyusuri trotoar, membiarkan Saujeno mengekornya beberapa langkah di belakang.

"Saya ikut kamu dong."

Mereka sudah sampai di ujung trotoar kemudian menyebrang dan menyetop angkot, kali ini yang beda jurusan dengan yang kemarin mereka naiki. Senandika memang betul tidak ingin ke cafe hari ini.

"Motormu dimana?"

"Hm?" Saujeno mengerjap, karena Senandika yang mengajak ngobrol duluan adalah suatu kelangkaan. Meskipun mereka sudah dalam tahap saling melempar senyum hangat, tapi Saujeno lah yang lebih aktif dalam hubungan mereka.

"Motormu, yang berisik itu."

"Ada di rumah Bayu."

Padahal, memang motor Bayu. Tempo hari Saujeno menjemput Senandika pakai motor Bayu karena kebetulan ia habis balapan dengan sepupunya.

"Bayu?"

"Teman saya."

"Gak kenal."

"Karena bukan teman kamu."

Saujeno terkekeh melihat Senandika yang berdecak sebal seraya memeluk tas ranselnya yang berada di pangkuan.

"Kamu benar gak kenal Bayu?" Tanya Saujeno lagi untuk memastikan.

Senandika menggeleng, pandangannya menerawang mencoba mengingat-ingat Bayu yang ia kenal, namun gagal di menit berikutnya. "Tidak. Memangnya dia siapa? Seperti pernah dengar namanya."

Saujeno hampir aja menepok dahi Senandika gemas.

"Kamu gak ingat? Dia 'kan sering balapan lawan Bang Raka."

"Iya kah?" Senandika menatap Saujeno penasaran. "Saya cuma ikut datang, gak pernah perhatikan siapa aja lawan Kak Raka."

"Dia yang nembak kamu waktu itu loh... yang di lapangan. Yang waktu kita kelas sepuluh."

Senandika nampak sedikit kaget, setelahnya menatap Saujeno tidak percaya. "Bayu yang itu? Hasta Bayu?"

Saujeno mengangguk, sementara Senandika ber-oh ria.

"Kenapa kamu tolak Bayu hari itu, Dika?" Tanya Saujeno kemudian, sebetulnya juga cukup penasaran akan alasan si manis di sampingnya itu menolak sahabatnya yang padahal terkenal gantengnya seantero sekolah.

"Gak ada alasan khusus sih," Senandika menjawab sambil membuka sedikit jendela di belakangnya. "Saya gak kenal dia."

"Bukannya Bayu PDKT-in kamu seminggu?"

Senandika - [nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang