23. senyum pilu yang menyakitiku

333 38 5
                                    

Malam itu, Saujeno pulang dengan langkah gontai memasuki rumahnya.

Namun, kakinya tidak lantas membawa dirinya memasuki kamarnya untuk mengemas baju, lebih memilih untuk berbelok ke pekarangan samping dimana ada kolam ikan besar dan jembatan penghubung antara rumahnya dan rumah sepupunya.

Rumah besar itu nampak sudah gelap lantai bawahnya. Namun lampu kamar Haedar masih menyala terang, tertanda sang empu belum tertidur di dalam kamarnya.

Tanpa mengetuk pintu terlebih dahulu, Saujeno menyelonong masuk dan menemukan Haedar yang sedang mengerjakan tugas di meja belajar. Mata bulat itu memandangnya sejenak sebelum perhatiannya kembali teralih ke tugasnya.

"Lo gak diterima disini, brengsek." Haedar berucap benci, nada bicaranya penuh sesak—hampir terbata.

Saujeno akhirnya mengerti mengapa selama hampir empat hari belakangan sepupunya itu selalu berlaku sinis padanya. Nampaknya Haedar sudah mengetahuinya duluan sejak hari pertama ia mencueki Saujeno.

"Dika hamil, Dar." Saujeno menggumam pelan. "Karena gue."

Gerakan tangannya yang tengah menulis seketika terhenti. Tubuhnya berbalik menghadap Saujeno sebelum sebuah gelas kaca melayang begitu saja ke arahnya.

JDUGG!!

PRANGG!!

"Itu semua gara-gara lo, bangsat!"

BRAK!!

Kali ini buku paket biologi, lalu kaleng pensil besi.

BRUK!!

PRAKK!!

"Saujeno brengsek! Otak udang! Punya otak bukannya dipake!"

Lalu botol parfum dan segala pernak-pernik perawatan wajah yang ada di meja belajar Haedar.

Rautnya nampak melunak ketika melihat darah mengalir dari atas alis kanan Saujeno, sadar tadi gelas yang dilemparnya mendarat disana.

"Jen..."

"Gue pantes dapetin ini semua, Dar. Gue udah nyakitin banyak orang." Lirihnya. "Gue bakal tanggung jawab soal Senandika, Dar."

"Dengan apa? Lo bakal ngomong ke ayah lo yang diktator itu atau ibu lo yang egonya setinggi langit?"

"Dar..." wajah Saujeno berubah pias, menyadari betapa beratnya perjuangannya untuk bertanggung jawab atas Senandika dan calon anak mereka. "Gue mohon... kali ini gue gak minta bantuan lo untuk bicara ke orang tua gue... tapi gue mohon... gue mohon banget... bisa lo tolong jaga Senandika untuk gue, Dar? Setidaknya, sampai gue mampu tanggung jawab sepenuhnya ke Senandika dan calon anak kita."

Air mata Haedar udah di ujung pelupuk begitu melihat wajah Saujeno yang begitu berantakan. Tangannya terulur untuk merengkuh tubuh sepupunya yang nampak begitu rapuh itu sebelum ia sadari ada beberapa lebam di wajahnya.

"Kenapa muka lo? Dibogem ibunya?"

"Dibogem Bang Raka," ringisnya ketika Haedar menyentuh sudut bibirnya yang terluka. "Senandika sekarang lagi di rumah sakit. Ditemuin Nara waktu hampir bunuh diri di kamarnya." 

Mata Haedar sontak melebar, ia meremat bahu Saujeno khawatir.

"Rumah sakit?!"

Saujeno mengangguk lemas. "Dia nyayat lengannya dan pingsan karena kehilangan banyak darah. Beruntung golongan darahnya AB, jadi gue bisa ngedonorin darah untuk dia."

"Te-terus gimana keadaannya? Dia baik-baik aja 'kan?!"

"Udah ditangani. Gue balik untuk ambil baju. Habis ini mau balik ke sana lagi, jagain Senandika gantian sama Bang Raka."

Senandika - [nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang