25. harapan dan perjuangan

247 31 1
                                    

Saujeno tengah menatap serius papan tulis di hadapannya, setengah mendengarkan gurunya menjelaskan pelajaran, setengah fokus mencatat materi di bukunya.

Bayu di sampingnya menatapnya kasihan. Sudah hampir dua minggu berlalu semenjak berita soal Senandika pindah sekolah ke luar kota tersebar, Saujeno jadi lebih pendiam dan pemurung. Entah mengapa anak itu mendadak jadi rajin dan mau menyimak pelajaran, padahal sebelumnya ia lebih suka bolos dan makan di kantin. Atau yang lebih anehnya lagi, Saujeno jadi betah berlama-lama di perpustakaan sekolah. Waktu Bayu datang menghampiri, pemuda itu sedang membolak-balik buku biologi Campbell atau bahkan membaca tentang ensiklopedia unsur dan senyawa kimia lalu memindahkannya ke buku catatan.

Bayu berpikir, kepindahan Senandika nampaknya memberikan efek yang begitu besar dalam hidup Saujeno. Yang biasanya tiap pulang sekolah nongkrong dan malamnya balapan serta mencari cewek untuk dipacari, kini Saujeno udah gak pernah mengiyakan ajakannya, bahkan setelah Rebecca udah balik, Saujeno tetap gak berniat untuk balapan.

Ia malah lebih suka memakai motor matic milik Danar untuk berangkat ke sekolah, pemuda itu juga udah gak pernah datang terlambat lagi, lalu pulang tepat semenit setelah bel pulang sekolah berbunyi.

"Bay?"

Bayu tersadar dari lamunannya begitu merasakan  tepukan ringan pada bahunya.

"Ya?"

"Mau tanya kimia?"

"O-oh, enggak..." Bayu membalas pelan, masih termenung menatap tangan Saujeno yang aktif mencatat. 

"Terus kenapa lo ngeliatin gue terus dari tadi?" Saujeno bertanya sembari lanjut mengisi buku catatannya dengan tulisan tangannya yang gak terlalu rapi. Bayu bahkan sampai kagum, gak pernah dia lihat Saujeno serajin ini sejak awal mereka berteman.

"Kepindahan Senandika buat lo banyak berubah ya..." gumam Bayu.

Tangan yang Saujeno gunakan untuk menulis mendadak berhenti, mata sipitnya melirik Bayu yang masih saja menatapinya.

"Yah, sedikit banyak..." Saujeno mencoba acuh dengan hanya mengedikkan bahunya asal sebagai respon. "Gue nyesel, Bay. Lo tau betul itu."

"Lo yang semangat ya, Jen. Kalo ada apa-apa lo bisa nyari gue."

"Makasih, Bay." Saujeno membalas tersenyum bersamaan dengan berbunyinya bel tanda pulang sekolah.

Seolah udah jadi kebiasaan rutin, Saujeno langsung membereskan alat tulisnya serta buku-bukunya sebelum memasukkannya dengan rapi ke dalam tas ranselnya. Bayu makin dibuat lebih kagum lagi karena dulu tas Saujeno bahkan gak pernah terisi buku. Cuma kertas ulangan lusuh dengan coretan merah plus satu pulpen yang tintanya pun macet-macet.

"Gue pulang dulu ya, Bay." Pamit Saujeno.

"Gak nongkrong, Jen?"

"Sorry, Bay. Gak dulu." Ia kemudian bangkit dari kursinya setelah mengambil helm yang ia taruh di bawah meja.

"Temen-temen juga nanyain lo di arena."

Saujeno sempat terdiam begitu Bayu menyebutkan tempat yang pernah jadi tempat pelarian favoritnya dulu.

"Mungkin gue gak akan balik kesana lagi, Bay." Saujeno tersenyum teduh, netranya menyiratkan kesedihan mendalam, namun sang sahabat hanya mampu menatapnya dengan sorot mata menyesal.

"Jen, ayolah... gue gak mau lo terpuruk terus soal Senandika. Mungkin emang butuh waktu lama untuk move on... tapi hidup harus berjalan terus, Jen. Kisah lo gak cuma tentang Senandika aja 'kan? Mau gue cariin cewek?"

"Sorry, Bay. Tolong jangan asal ngomong kalo lo gak tau yang sebenarnya. Gue berhenti karena kemauan gue sendiri, karena gue sekarang punya hal lain yang lebih penting untuk diurusin. Maaf, Bay. Gue rasa lo gak perlu tau alasannya—untuk sekarang. Dan untuk tawaran lo—tau sendiri 'kan gue udah kena karmanya? Gue gak mau lagi ngalamin hal semenyakitkan itu. Gue duluan ya, Bay."

Senandika - [nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang