24. keputusan terbesar, titik balik kehidupan

217 34 2
                                    

Senandika sedang menatap jendela dengan bingung kala hujan masih saja turun membasahi bumi di Mei sore saat Saujeno memasuki kamar rawatnya sembari membawa makanan.

"Mau keluar lihat hujan?"

Senandika menggeleng tanpa mengalihkan tatapannya pada Saujeno, jemarinya saling bertaut di atas pahanya yang dilapisi selimut bayi berwarna biru muda.

"Saujeno, aku punya pertanyaan."

Sang pemilik nama lantas duduk di samping Senandika, "Ya?"

"Kenapa kamu mutusin buat kembali?"

Saujeno menengokkan kepalanya menatap Senandika yang masih saja betah memandangi rintik air di luar kusen jendela.

"Sini coba duduknya deketan," Saujeno tersenyum sembari menepuk spasi kosong di sisi kirinya. "Sini, sini."

Senandika lalu menggeser duduknya, tapi Saujeno segera mengangkat tubuhnya dan diletakkan di atas pangkuannya.

"Ja-jangan... aku berat, Jeno..."

"Gak kok, gendong kamu aja aku masih kuat," Saujeno tertawa kecil dan mengusap poni Senandika kemudian. "Mau dengar alasannya?"

Senandika mengangguk, kedua tangannya didekap di depan dada, mata beningnya menatap Saujeno polos.

"Alasannya... gak ada."

Wajah Senandika langsung berubah. Tatapan polos itu digantikan dengan kernyitan heran, buat Saujeno tertawa sebelum menangkup pipi si manis dan mengecup bibirnya sekali.

"Aku serius, Jeno." Ujar Senandika sebal.

"Yah, aku serius, Nana," senyumnya menipis, tangannya ia ulurkan untuk menarik kepala Senandika agar bersandar di bahunya. "Kamu lihat hujan di luar sana 'kan?"

Meskipun sedang kesal, Senandika tetap mengangguk dan mengikuti arah pandang Saujeno ke luar jendela.

"Aku sama hujan punya perbedaan. Kamu mau tau?"

"Apa itu?"

"Hujan itu, punya alasan untuk jatuh, soalnya awan udah berat dan harus kasih sumber air buat bumi," katanya, lalu dijeda sebentar sebelum merunduk untuk menatap kekasihnya tepat di mata. "Tapi aku, gak punya alasan untuk jatuh cinta sama kamu."

Senandika mendongak menatap paras tampan Saujeno dengan mata beningnya. Lelaki itu tengah mengusapi perutnya dengan lembut, lalu pucuk kepalanya dikecup sayang.

"Kamu dan hujan juga punya persamaan," Senandika membalas kemudian. "Mau tau?"

"Apa itu?" Saujeno ganti bertanya.

"Kedatangan hujan memang menyejukkan hati, sama seperti dirimu. Tapi, suatu waktu hujan akan pamit pergi, apa kamu juga akan seperti itu?"

Raut manis itu menampilkan gurat khawatir ketika bilah tipisnya terkatup tertutup. Napas Saujeno terasa tercekat. Kesedihan itu muncul lagi di permukaan.

Tangan Saujeno buru-buru kembali mendekap dengan erat, tak ingin kekasihnya itu kembali merasa sedih.

"Nana, selepas hujan pasti akan ada pelangi dan matahari yang muncul kembali. Maafkan aku karena kamu terpaksa harus merasakan dinginnya air hujan. Semua orang memang ingin bahagia, tapi kamu gak akan bisa melihat pelangi tanpa hujan. Kini hujanmu sudah lewat, Na. Aku hadir sebagai pelangimu."

Dan netra bening itu bergetar di detik berikutnya sebelum setetes demi setetes air mata merembes keluar membasahi pipinya. Saujeno meringis pedih, mengusap air mata Senandika dengan lembut sembari mengecupi kelopak matanya, mengucapkan banyak kalimat menenangkan supaya tubuh mungil dalam dekapannya itu berhenti bergetar.

Senandika - [nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang