14. merelakan untuk sebuah kegagalan

416 71 11
                                    

"Saya tanya sekali lagi, Dika. Perasaanmu untuk Saujeno, sudah sejauh mana?"

Siang ini atmosfernya tegang. Setegang tangan Senandika yang berada di bawah meja. Raka tengah menatapnya penuh selidik di hadapan, menumpu wajah pada tangan di atas meja. Selama perjalanan pulang tadi, Raka diam saja dan tak mengajak Senandika mengobrol seperti biasanya. Sengaja lelaki itu tak antar pulang dirinya ke rumahnya sendiri agar bisa menginterogasinya dan mengajaknya bicara empat mata.

Yang lebih muda menunduk menyesal, namun ada setitik rasa protes yang timbul dalam hati kecilnya ketika nada bicara Raka terdengar begitu menghakimi. Senandika mengerti jika maksud Raka hanya untuk melindungi—tapi, harus sejauh itukah Raka bertanya?

"Sa-saya... takut, Kak Raka..." Senandika menjawab gugup sembari memilin-milin ujung kaus hitam yang dikenakannya. Rasa protes itu teredam begitu saja begitu dirinya melirik Raka lewat ekor mata.

Mereka berdua kini tengah duduk di meja makan rumah Raka, kedua orang tua Raka pergi bekerja sementara Tristan keluar rumah untuk belanja, menyisakan Raka berdua dengan Senandika yang kemudian memutuskan untuk menginterogasi pemuda yang begitu dilindunginya itu.

"Dia sudah melakukan sejauh itu? Menciummu di bibir? Sudah berapa kali dia lakukan itu?" Nada bicara Raka memang terdengar tenang, namun justru itu yang paling menakutkan bagi Senandika.

Senandika mengangguk, menunduk makin dalam, "Tiga kali."

Lantas hening, lalu helaan napas berat keluar dari belah bibir Raka, "Dika, lihat saya."

Senandika menggeleng pelan, terlalu takut untuk sekedar mendongak. Ia tak ingin melihat wajah kecewa kakaknya.

"Dika, kita janji untuk saling jujur satu sama lain 'kan? Saya disini sebagai kakakmu, Dik. Jujur, supaya kamu gak terbebani terus."

"Saya takut Saujeno gak bisa menerima keadaan saya, Kak," ia menyahut pada akhirnya. "Kakak sudah bicara ke dia 'kan? Soal kekurangan saya yang kakak anggap istimewa itu. Nyatanya saya makin takut, Kak. Saya takut Saujeno akan menolak saya waktu tau bahwa saya bukan lelaki normal. Karena... karena—"

"Karena kamu udah terlanjur nyimpan rasa untuk dia?"

Senandika sontak mendongak sebelum menunduk kembali dan mengangguk kecil penuh sesal. Wajah kecewa itu terlukis jelas pada paras tampan Mahesa Raka.

"Saya takut. Takut Saujeno sama seperti Ayah yang pergi ninggalin saya waktu tau bahwa saya gak normal. Saya gak mau itu terjadi lagi, Kak. Saya mengaku kalau saya memang suka sama dia, tapi saya gak bisa berkata padanya bahwa saya gak normal. Saya sungguh gak bisa, Kak."

Raka menghela napasnya bingung, adiknya nampak begitu frustasi. Ia paham jika masalah ini menyangkut urusan hati, yang artinya adalah urusan yang sulit untuk diatasi.

Ia ingin bermuka tebal atas perasaan Senandika, namun hatinya terus merasa gusar dan berkata bahwa hal tersebut tidaklah benar. Lagipula, sebelumnya ia telah mengatakan pada Haedar bahwa ia menyerahkan semua pilihan pada Senandika.

"Saya takut sama penolakan," timpalnya kemudian. "Saya takut ditinggalkan, Kak Raka."

Diam-diam, Raka turut merasakan frustasi. Ah, sial. Ia harus bagaimana? Haruskah ia menyerah atas Senandika begitu saja? Dilihatnya adiknya itu nampak begitu lesu. Maka diusapnya kepalanya perlahan berusaha memberi ketenangan.

"Tapi Saujeno menerima, Dika. Saya udah jelasin semuanya ke dia dan dia bilang—"

Tetapi sebuah gelengan ia dapatkan sebagai jawaban, "Dia belum paham, Kak. Dia pikir, gak normalnya saya hanya sebatas punya wajah cantik dan manis, juga tubuh yang kurus dan ramping seperti perempuan. Padahal saya lebih gak normal dari itu."

Senandika - [nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang