16. hal fatal

555 63 5
                                    

tw⚠️//🔞










Setelah melewati hampir dua minggu liburan semester, Saujeno memutuskan untuk menghabiskan dua hari terakhir waktu liburannya bersama Senandika, entah itu untuk quality time berdua atau sekedar membunuh waktu untuk mengusir kebosanan.

Mulai dari menonton televisi, bermain game, makan, tidur, repeat—semua sudah mereka lakukan sejak Saujeno berkunjung pukul sembilan pagi tadi.

Ibu dan adiknya tengah berbelanja bahan keperluan rumah tangga bersama lelaki bajingan yang sebentar lagi akan jadi ayahnya. Senandika tadinya diajak, tapi ia menolak dengan alasan tidak enak badan dan alhasil berakhir lah dirinya bersama Saujeno di kamarnya hingga petang menjelang.

Kini keduanya tengah menonton film keempat yang Senandika putar di layar laptopnya yang berada di atas lantai sedangkan ia dan Saujeno menyandarkan punggung di tepi kasur.

"Nana."

"Hmm?" Senandika yang tadinya sedang fokus menonton film langsung beralih menatap kekasihnya.

"Kita udah sebulan ya?" Saujeno bertanya entah darimana, tatapannya lurus terpaku pada Senandika.

"Iya," Senandika otomatis mengulas senyum, menghentikan filmnya sebentar. "Kenapa?"

"Aku mau nanya deh."

"Nanya apa?"

"Kamu sesayang apa sama aku?"

Senandika langsung menegakkan duduknya dan bersila menghadap Saujeno.

"Saujeno mau tau?"

Saujeno mengangguk sebelum ikut duduk berhadapan setelah menyingkirkan laptop Senandika ke atas meja belajar.

"Sebesar ini," Senandika membentuk kedua tangannya menjadi o kecil. "Lalu membesar segini," ia mengangkat kedua tangannya dan merentangkannya lebar-lebar. "Terus lebar sampai sebesar rumah, lebih lebar lagi, lebih lebar, lebiiihhh lebaaarrrr, lebiihh lebaarrr lagiii sampai satu dunia! Nah, itu sayangku buat kamu, Saujeno. Kamu duniaku."

Melihat Senandika yang tengah tersenyum lebar mendadak buat Saujeno ikut tersenyum juga. Makin besar rasa sayangnya, makin besar juga peluang rasa sakitnya 'kan?

"Manisnya pacarku, sini peluk dulu."

Dengan semangat, Senandika beranjak mendekati Saujeno untuk dipeluk tubuh mungilnya dan dibawa ke atas pangkuan.

"Kamu wangi banget deh, Dika." Saujeno menggumam setelah mendudukkan kekasihnya di atas pahanya.

Setelahnya ia menangkup tengkuk Senandika dengan lembut, menariknya ke samping sebelum melesakkan wajahnya di perpotongan leher, menghirup aroma tubuh Senandika dalam-dalam sekali lagi.

"Haha, Jeno, geli!!" Senandika tertawa sembari menjauhkan tubuhnya dari kekasihnya, tetapi tangannya tetap dilingkarkan di leher Saujeno.

"Mau cium leher ya? Boleh?"

"Boleeehh."

Senandika sedikit mengeluarkan rintihan ketika Saujeno dengan iseng menggesekan hidung mancungnya di lehernya lantas digigit menggunakan bibir.

"Jangan gerak," Saujeno berbisik pelan di telinga Senandika, meletakkan satu tangannya di pinggangnya dan satu lagi di punggung, menjaga kekasihnya agar tidak banyak bergerak. "Nanti... kena."

Tanpa aba-aba, Saujeno bangkit dari posisi duduknya masih dengan Senandika yang menempel pada tubuhnya, kini berpegangan erat pada bahu Saujeno karena takut terjatuh ke lantai.

Senandika - [nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang