12. dimana, ketika saya butuh?

445 69 13
                                    

"Nana, maaf semalam ponsel saya gak aktif. Ada apa? Darurat sekali, ya?"

Saujeno bertanya begitu mereka bertemu di koridor depan ruang ujian hari ini. Senandika seketika merasa perlu menangis. Ia ingin sekali memeluk Saujeno, ingin sekali menumpahkan keluh kesahnya pada pemuda yang ia sukai itu, namun Senandika tidak bisa. Senandika tidak bisa membuatnya tertarik ke dalam masalah hidupnya yang rumit. Biarlah Saujeno menjalani masa remajanya dengan suka cita, dengan bebas bermain dan lainnya. Senandika tidak perlu melibatkan orang lain selain Raka dalam hidupnya yang sebegini anehnya.

"Gak apa, Saujeno. Saya cuma mau tanya soal latihan kemarin. Tapi kayaknya, kamu serius sekali belajarnya sampai matikan ponsel, ya?"

Saujeno menggaruk tengkuknya canggung seraya tertawa. Sebenarnya, ia tidak belajar semalam karena menemani Shanon nonton film hingga pukul sepuluh. Anak itu memaksa minta ditemani nonton dua film berbeda. Saujeno pun menyetujui ajakan Shanon meskipun besoknya adalah minggu ujian. Hitung-hitung sekalian pendekatan.

Yah, terserah Saujeno saja lah.

"Hari ini ke cafe?"

"Sialnya, tidak. Mas Yuta tahu minggu ini minggu ujian, jadi dia larang saya untuk datang."

"Kalau begitu, langsung pulang?"

"Saya mau jemput Nara dulu. Dia juga ujian, pulang cepat."

"Saya ikut, ya? Saya bawa motor."

"Masa iya bonceng tiga naik R25?"

"Bisa kok! Nara duduk di depan saya."

"Memangnya muat? Anak itu kan umurnya saja yang kecil, badannya tidak."

Saujeno tertawa, mengusak rambut Senandika seperti biasa ketika ia gemas dengan pemuda berwajah manis tersebut.

"Ayo, jemput Nara."

Mereka tiba di depan gerbang sekolah Nara sepuluh menit kemudian, menemukan anak itu tengah melambaikan tangan sambil menggandeng tangan anak lelaki lainnya yang menatap Senandika serta Saujeno malu-malu.

"Aiden, aku udah dijemput Kakak. Mana jemputanmu?"

"Gak tau, Nara," anak lelaki bernama Aiden itu menggeleng lucu. Rambut hitamnya terkibas-kibas menutupi mata. "Haduh, aku harus les piano. Bagaimana ya?"

"Halo, Aiden ya?" Senandika menyapa duluan, merunduk menatap anak lelaki yang lebih kecil dari Nara tersebut. "Aku Senandika, kakak Nara."

"Ai-Aiden." Anak lelaki itu menjabat tangan Senandika malu-malu, buat Senandika tertawa gemas dan hampir mencubit pipinya.

"Kamu nunggu jemputan, Aiden?"

Anak itu mengangguk menjawab. "Harusnya udah datang, tapi... ah itu dia!"

Pandangan Saujeno dan Senandika langsung tertuju pada mobil Lamborghini yang melaju ke arah mereka dengan suara knalpotnya yang sama bisingnya dengan knalpot motor Saujeno, membuat kedua anak remaja itu saling pandang dan kemudian menganga lebar.

"Astaga, Na, orang tuanya wakil partai mana?" Saujeno berbisik pada Senandika.

"Bukan wakil partai deh kayaknya, Saujeno. Mungkin salah satu yang duduk di kursi tertinggi perusahaan besar versi majalah bisnis terkenal itu," Senandika balas berbisik.

"Pantas sekolah disini ya, Na."

Senandika mengangguk setuju, "Astaga, Nara jago juga bisa memenangkan hati tuan muda."

Saujeno terkekeh kecil, buat Senandika tersenyum sembari memandangi Nara yang sedang melambaikan tangannya pada Aiden.

"Oh, jadi dia yang namanya Aiden?" Senandika tersenyum menggoda, membuat Nara jadi salah tingkah.

Senandika - [nomin]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang