ENAM | Malam yang Kelam

619 61 2
                                    

Bagi sebagian orang, waktu malam adalah waktunya melempar kasih kepada mereka yang tercinta

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Bagi sebagian orang, waktu malam adalah waktunya melempar kasih kepada mereka yang tercinta.

Tapi ada juga yang menganggap waktu malam adalah bencana yang kembali menghancurkan ketenangannya.

****

Jodi sedang memilih produk yang sudah kadaluarsa dan menggantinya dengan produk yang baru. Setiap pulang sekolah ia menyempatkan diri untuk bekerja paruh waktu di salah satu toko swalayan yang terletak di dalam mall pusat kota.

Walaupun kehidupannya sudah ada yang menjamin, tapi Jodi ingin menjadi kakak yang bisa di andalkan oleh kedua adik perempuannya.

Sponsor mereka tidak pernah menampakan diri, yang Jodi tahu setiap bulan rekeningnya selalu terisi sejumlah uang untuk keperluan hidupnya dan kedua adik perempuannya.

Ia mendorong troley menuju gudang belakang yang di khususkan untuk makanan yang kadaluarsa, terkadang beberapa makanan itu Jodi bawa pulang, hanya beberapa yang menurutnya masih layak dan belum terlalu lama expirednya.

Saat tengah kembali mengecek rak selanjutnya, netra matanya menangkap satu keluarga kecil yang tengah berjalan berlawanan arah dengannya.

Seorang ibu dan ayah yang tengah menggandeng putri kecilnya dengan senyum yang teramat bahagia. Bayangan itu selalu menjadi impiannya sejak kecil, bisa memiliki sosok ibu yang membantunya saat dirinya tengah merasakan lelah menjalani kehidupan yang kejam ini.

Hatinya kembali teriris saat ibu kandungnya tidak mengenalinya saat mereka bersitatap. Tak ada tatapan seolah ibunya sangat merindukan anaknya. Padahal di sini, Jodi mati-matian berusaha untuk bisa mengembalikan ibunya lagi.

Ia tak pernah tahu apa alasan sang Ibu meninggalkannya, selain ibunya melepas tangankan tanggung jawabnya dari Jodi dan kedua adik perempuannya.

"Jod, jangan Meleng nanti nabrak berabe urusannya." teguran dari salah satu rekannya mampu membuat Jodi kembali ke realita kesadarannya.

"Eh iya, bisaan aja Lo."

Perempuan itu melirik jam tangannya yang melingkar di pergelangan tangannya, "Lo siap-siap gih pulang, udah mau jam 11. Shif Lo bentar lagi kan habis."

Jodi baru ingat karena tadi harus terlarut dalam kisah menyedihkannya.

"Yaudah kalo gitu ke belakang dulu ya. Lo yang semangat kerjanya biar dapet bonus." Perempuan itu melempar senyum lalu mengambil alih troley yang Jodi bawa sebelumnya.

Jodi sadar, tak seharusnya ia terus memikirkan kemungkinan bahwa ibunya akan kembali. Jodi hanya perlu membantu Dea dan Gea agar bisa menjadi seseorang yang bertanggung jawab di masa depan kelak.

Mereka harus berjuang bersama untuk bisa membuat sang ibu bangga, mereka harus bisa menunjukan kepada ibunya bahwa tanpa kasih sayang seorang ibu pun, ia dan kedua adiknya mampu menjadi orang yang sukses.

Jodi melepas sepatunya lalu meletakkannya di rak sepatu yang tersedia. Ia melihat lampu ruang tengah rumahnya masih menyala. Padahal waktu sudah menunjukan pukul setengah dua belas malam, apakah kedua adiknya masih terjaga?

Seperti dugaannya, ternyata kedua adiknya tengah berkutik di dapur.

"Lah kok belum pada tidur si?"

Jodi meletakkan tas dan jaketnya di kursi makan lalu menghampiri kedua adiknya yang larut dalam keheningan karena terlalu fokus membuat donat dan brownies.

"Ada pesenan donat sama brownies dari temennya Gea, katanya buat acara selametan di rumahnya. Makanya kita buat sekarang." Gea tersenyum semringah melihat Jodi pulang.

"Ada pesena donat sama brownies dari temennya Gea, katanya mau ada selametan gitu, kebetulan Gea sering banget promo kue buatan gue bang. Makanya deh temennya pesen."

"Lo selama ini jualan donat sama brownies?" tanya Jodi kepada Dea, pasalnya yang Jodi tahu setiap kali Dea membuat kue itu ia kira hanya untuk di makan sehari-hari atau di bawa kesekolahnya saja.

Dea mengangguk dengan perasaan bersalah karena tak pernah jujur kepada sang Abang.

"Kenapa si De? Lo lagi butuh duit? Buat beli apa? Gue masih mampu buat beliin Lo." Dea reffleks menggeleng, perempuan itu lantas tersenyum.

"Gue ada kunjungan ke Bandung bulan depan. Gue gamau ngerepotin Lo, niatnya nanti gue baru bilang pas udah bayar, tapi keburu ketauan duluan deh," ujar Dea yang menolak tawaran Jodi mentah-mentah.

Jodi menghampiri Dea, ia mengelus puncak kepala adik pertamanya itu, "Lo itu tanggung jawab gue De, gaada kata ngerepotin buat Lo sama Gea. Gue cuma punya Lo berdua, dan Lo berdua harus bisa ngandelin gue. Kalo kalian kenapa-napa gue bisa gila tahu gak."

Gea memeluk Jod dari belakang, perempuan itu mendanga menatap sang Abang dengan senyum.

"Tenang aja bang, kita bakalan hati-hati kok, kita cuma gamau liat Abang kecapean karena harus nyari uang tambahan buat sekolah Gea sama Kakak."

Jodi sedikit heran dengan ucapan Gea, sebelumnya Jodi tidak pernah berkata kepada dua adik perempuannya ini kalau dia bekerja paruh waktu setiap malam.

"Kecapean kenapa coba. Abang kan cuma sekolah terus kerja kelompok. Mana ada capek. Itu udah tugas Abang sebagai pelajar."

Dea menggeleng, ia masih tak menyangka jika Jodi masih tidak ingin memberitahu mereka tentang pekerjaannya.

"Nih ya bang, kan Lo sendiri nih yang bilang kalo Lo gasuka gue sama Gea bohong. Tapi Lo sendiri kenapa coba malah bohong?"

Jodi menyerit tak mengerti, tangannya mengelus punggung tangan Gea yang masih melingkar di pinggangnya. Terasa perempuan itu mengangguk setuju dengan ucapan Dea sebelumnya.

"Bohong apaan?"

"Gue tahu Lo kerja di toko swalayan yang di dalem mall kota."

Jodi melongo, "Gak ada. Kata siapa?"

"Bang Moka," ceplos Gea.

Jodi menatap Dea bingung, kenapa bisa mereka tahu dari Moka, "Kapan kalian ketemu?"

"Tadi bang Moka kesini nyariin Lo. Gue bilang aja lo pamitnya mau ke rumah dia, tapi dia bilang gaada. Terus gue juga pernah mergokin Lo waktu pulang sekolah, berarti kan selama ini kecurigaan gue bener kalo Lo itu kerja paruh waktu. Kenapa mesti di sembunyiin?"

"Itu gue cuma gantiin temen gue aja. Percaya sama gue uang buat keperluan kalian masih cukup banget."

Sebenarnya uang yang selalu dia dapatkan dari orang yang mensponsori mereka masih sangat cukup, hanya saja Jodi ingin menambah uang sakunya agar nanti saat ia sedang ada keperluan lain, ia bisa memakai uang tabungannya tanpa mengotak-atik uang yang sudah ia sisihkan untuk biaya sekolah Dea dan Gea sampai mereka kuliah nanti.

Jodi juga butuh angin segar agar ia tak melulu memikirkan keberadaan sang mama.

"Makasih ya bang, Gea janji bakalan belajar yang rajin, biar Gea jadi juara kelas dan bisa banggain Abang." Jodi meraih Gea kedalam pelukannya, Dea ikut tersenyum bercampur haru, walaupun mereka tak pernah merasakan kehadiran sosok kedua orangtuanya, tapi Jodi mampu memberikan kehangatan untuk mereka layaknya sebuah keluarga yang utuh tanpa kekurangan perhatian sedikit pun.

****

TBC

Without Me [END] Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang