DUA BELAS | Harus yang pertama

353 33 0
                                    

"Jangan ada yang mempermalukan saya nanti." Suara Heri menggema didalam mobil, Alma hanya menghembuskan napasnya pelan, entah sudah berapa kali Papanya itu berucap seperti itu saat mereka masih di rumah.

"Terutama kamu Alma."

Alma menatap papanya sebentar, "Iya pah."

Sebenarnya Alma malas untuk ikut ke acara pesta yang diadakan rekan papanya. Isinya tak akan berbeda dari mereka yang berlomba-lomba untuk menunjukan anak siapa yang paling terbaik.

Raka juga belum pulih sepenuhnya, harusnya adiknya itu tetap istirahat dirumah. Namun papanya ngotot untuk memboyong mereka semua datang.

Acara penting katanya, penting untuk hidupnya yang terlampau egois. Alma lelah harus tersenyum didepan semua orang seolah dirinya baik-baik saja. Padahal untuk menyembuhkan luka yang disebabkan dengan sengaja oleh Papanya saja masih suka terasa saat dia beraktivitas terlalu aktif.

Tetapi, Alma tidak punya pilihan lain selain menuruti apapun keinginan papanya itu.

Setelah hampir 30 menit akhirnya mobil yang di kendarai Heri memasuki gerbang utama. Rumahnya besar sekali. Jarak antara gerbang utama sampai pintu masuk terlampau jauh. Harus melewati patung kuda air mancur yang berada ditengah-tengah untuk menyambut para tamu undangan.

Setelah papanya memarkirkan mobil, Alma berjalan santai dibelakang sang papa menggandeng Raka. Sementara Naya di tuntun manis kanan dan kiri oleh Delima dan Heri.

"Teh, Raka pusing." Alma menoleh menatap sang adik yang wajahnya mulai memucat.

"Mau teteh gendong?"

Raka menggeleng, anak itu malah kembali berjalan pelan, agar tidak membuat keributan.

"Gapapa teh, Raka masih bisa jalan."

Alma sebenarnya tidak yakin, tapi Alma mencoba percaya sama Raka bahwa adiknya itu tak akan berbohong kepadanya.

Raka akan ngomong kalo dia merasakan sakit. Raka sudah berjanji kepadanya dirumah tadi.

"Inget janjinya ya. Kalau gakuat bilang." Raka mengangguk, lantas kembali berjalan. Alma merasakan genggaman tangan Raka semakin menguat, jantung Alma berdedgup kencang, ia takut Raka tiba-tiba pingsan dan membuat amarah papa terpancing.

Jika itu terjadi Raka pasti akan mendapat hukuman.

Heri sudah bersalaman dengan rekan kerjanya, ia memperkenalkan Delima dan Naya dengan senyum yang terukir, sementara saat memperkenalkan Alma dan Raka, raut wajahnya sedikit berbeda. Seperti, terpaksa. Maybe?

"Ini Raka ya? Sudah besar, kelas berapa sekarang?" Raka tersenyum, anak itu menyalami punggungnya tangan perempuan didepannya dengan senyum.

"Kelas 5 SD Tante. Tante makin cantik." Perempuan itu yang merupakan istri dari rekan papanya tertawa bahagia. Yang Alma tahu perempuan itu adalah teman mamanya. Apakah perempuan itu tahu dimana keberadaan mamanya sekarang?.

"Ini Alma?" Alma mengangguk antusias, hanya disini Alma dan Raka di sambut sebahagia ini. Biasanya hanya Naya saja yang selalu mendapat senyuman.

"Cantik ya, Tante sampe pangling."

"Tante lebih cantik kok." Alma tersenyum, sementara Delima dan Heri hanya menatapnya dengan tatapan terkejut. Mereka tidak tahu kalau Alma dan istri rekan papanya sudah sangat dekat. Selain karena suaminya bekerja sama, mamanya Alma adalah panutan Perempuan itu.

"Ini Naya anak saya yang terakhir." Saat papanya memperkenalkan Naya, istri rekannya itu hanya tersenyum tipis, Alma melongo. Baru kali ini ada orang yang tidak antusias saat menyambut Naya.

Without Me [END] Where stories live. Discover now