[[ INTERMEZZO : L'Histoire se Répète - Unveil The Horizon ]]

517 58 60
                                        

'Everyone is a moon, and has dark side which he never shows to anybody.'

—Mark Twain, Writer.

▪︎▪︎▪︎

Flashback. April tanggal 14. Empat tahun yang lalu. Apartemen Yeonjun, sepulang dari Kanegasaki-gu. Toranomon Hills. Minato-ku. Tokyo-to.

    "The weight of a simple human emotion. Weighs me down more than the tank ever did. The pain—"

    Yeonjun bersenandung. Di dekapannya, terdapat Choi Soobin yang sedang menyenderkan kepalanya ke dada cowok itu. Helaan nafas mereka bergerak seirama. Saling melengkapi ritme detak jantung masing-masing.

    Pukul 23.43 waktu setempat. Hampir tengah malam, dimana hampir semua penduduk di kota-kota besar mulai meninggalkan aktivitas hiruk pikuknya dan pulang ke peraduan untuk beristirahat. Sama halnya dengan kedua pasangan 'baru jadi' yang sedang mendekap erat tubuh satu samalain.

    Yap, tepat sekali. Malam itu, sepulang dari kuil Kanegasaki beberapa menit yang lalu—Soobin memutuskan untuk bermalam saja di apartemen pacar teranyarnya ini, dikarenakan sudah terlalu larut untuk membangunkan Kak Jungkook yang sudah tertidur lelap di apartemen.

    Hal itu diketahuinya melalui sebuah pesan singkat, berisi permintaan izin menginap di rumah teman kepada kakaknya yang tak kunjung dijawab oleh sang empu.

    Jadilah Soobin di sini, di ruang tidur apartemen mewah milik Yeonjun, di atas ranjang dan di dalam dekapan nyaman cowok itu pula. Dia pun sudah mengganti baju dengan sehelai kaus kebesaran dan celana piyama milik Yeonjun, setelah mandi dengan air hangat—sesampainya di apartemen di pusat kota Tokyo ini.

    Samar-samar suara sayup dari televisi yang dikecilkan volumenya, beradu kontras dengan nyanyian yang keluar dari bibir Yeonjun di telinganya. "The pain, it's determined and demanding. . . To ache. But I'm okay."

    Di antara mereka berdua, menjadi sumber pencair suasana lainnya—selain nyanyian Yeonjun—agar si manis bisa lebih rileks dan santai menuju mimpi indah.

    Tetapi ia segera menyesali tindakannya itu, dikarenakan nyanyian sang pacar ternyata lebih ampuh membuatnya nyaman—selain pelukannya—daripada suara berisik aktor pemeran drama atau film yang sedang terputar di layar televisi di hadapan mereka. Malah terkesan mengganggu—sedikit—kenyamanannya dalam mendengarkan suara merdu cowok itu.

    Dan bagi Soobin, rasanya suara nyanyian lullaby yang keluar dari belah bibir tebal milik Kim Yeonjun berkali lipat lebih indah, daripada banyaknya suara penyanyi profesional—mungkin juga sudah bergelar Top Diva, Maestro atau apalah—di luaran sana.

    "You should go to an audition someday, Kak" bisik Soobin pelan. Seakan takut merusak jalinan lagu pengantar tidur untuknya yang masih disenandungkan Yeonjun. "You should. . . You should be known as something different. Everybody should know you—They should know your existence, the. . . the man who's living up his name. . . gratefully"

    Yeonjun tersenyum tipis. Matanya menatap lurus ke depan. Mengintip bayangan wajah damai Soobin dengan mata setengah tertutup, bersender di perpotongan leher dan dadanya—dari sebuah standing glass di seberang.

    Elusan jari-jari tangan Yeonjun bergerak halus menyapu helaian rambut hitam milik Soobin, pelan-pelan. "And I don't want to let this go. I don't want to lose control. . . I just want to see the stars with you. . ." Lirihnya lagi lalu memberikan sebuah kecupan di puncak kepala si manis.

Let Go || K.Yj • C.Sb • K.Dn || YeonBinDonde viven las historias. Descúbrelo ahora