Tiga - Badai Pasti Berlalu?

14.5K 1.6K 46
                                    

"Suasana tenang ibarat bersiap-siap untuk badai." – Pembimbing Anak Magang yang pusing tujuh keliling.

Aku mengangkat muka dari laptop dan mendapati ketiga anak magang sedang bekerja serius. Suara Justin Bieber menyanyikan Yummy terdengar dari iPod Ai yang tersambung pada speaker. Suasana cukup tenang dan aku suka ini. Seumur hidupku saat bekerja, ketenangan adalah satu hal yang paling kusukai.

Kuperhatikan wajah-wajah yang sedang serius itu. Ketiga anak magang yang ada di bawah bimbinganku adalah anak-anak cerdas dan brilian. IPK atau Indeks Prestasi Kumulatif mereka di atas 3.50. Ai bahkan memiliki IPK nyaris 4.00 yang mana merupakan nilai sempurna.

Selain Ai yang saat ini sedang mengerutkan dahi melihat laptop, ada Ahmad Jaelani atau Mamet. Menurutku dia anak berisik yang luar biasa bawel. Bayangkan saja, anak ini bisa bicara terus menerus sambil bekerja. Ai selalu bilang kalau jiwa mereka tertukar, mengingat gadis itu cukup pendiam.

Mamet cukup luwes dalam bergaul. Di hari pertama, dia mengajukan pertanyaan apakah boleh pulang cepat. Di hari kedua, dia sudah dikenal oleh semua orang seantero gedung, bukan hanya di divisiku saja.

Laki-laki yang duduk di samping Mamet adalah DJ – Donny Jailendra, yang jangkung dan besar. Ai di samping DJ hanya seperti segumpal daging berkacamata. Kebalikan dari Mamet yang ceria, DJ memiliki raut wajah tenang dan seolah tidak terpengaruh pada hal apa pun.

"Kenapa panggilan lo, Ai?" Tiba-tiba saja Mamet bersuara. Dia menoleh pada Ai yang masih serius menatap pekerjaannya.

"Karena nama gue bukan Ahmad Jaelani," sahut Ai sekenanya. Mamet terbahak mendengar ucapan Ai. Dia lalu menoleh pada DJ.

"Eh, DJ! Gue baru sadar kalau panggilan nama lo dan Ai itu cuma dua huruf. Mungkin kalian nggak banyak bicara itu seperti nama panggilan yang irit ya." Mamet tertawa sendiri sementara aku memutar bola mata. Sebentar lagi anak nakal ini pasti mengomentariku.

"Kalau Kak Cassie, rasanya nggak cocok ya dipanggil Cassandra." Mamet melihat padaku dengan pandangan jahil.

"Cocoknya apa?" tanyaku ingin tahu.

"Sipir-lah yang cocok. Kak Cassie kan hobinya bilang Mamet beresin meja kamu, Ai kurangi Hello Kitty di meja kamu, DJ kalau ketemu orang senyum dikit, dong. Semacam sipir di sini."

Suasana langsung pecah dengan tawa sementara aku tersenyum kecut. Seharusnya aku tidak ingin tahu. Seharusnya aku tidak bertanya. Penyesalan memang selalu datang terlambat, kalau duluan namanya down payment.

Bicara tentang Hello Kitty di meja Ai. Anak imut-imut tapi kalau bicara sakitnya bisa kaya tertusuk sembilu itu hobi sekali mengumpulkan pernak-pernaik Hello Kitty. Aku bisa melihat lampu meja belajar dengan kap lampu Hello Kitty berdampingan dengan tumbler ungu bergambar kucing imut itu. Bukannya aku tidak suka tapi kalau dalam satu meja ada puluhan gambar Hello Kitty, lama-lama kepala bisa sakit kepala.

Meja Ai saat ini sudah lebih wajar dibanding saat hari kedua. Waktu itu dia datang pagi-pagi sekali membawa tas yang kupikir bisa untuk dipakai mendaki Gunung Everest. Kebetulan waktu itu aku juga datang pagi karena ikut mobil Kakakku yang menginap karena suaminya dinas ke luar kota.

"Kamu mau kemping, Ai?" tanyaku heran. Gadis itu melihatku sambil mengangkat tas yang sepertinya sangat berat lalu mendengkus keras sampai aku terlonjak kaget.

"Ini tuh barang-barangku yang berharga, Kak," jawab Ai sambil memperbaiki letak kacamatanya.

"O-oke ...." Sungguh aku tidak paham kenapa barang berharga itu harus dibawa-bawa ke kantor dalam tas berukuran raksasa yang tingginya nyaris sama dengan Ai.

Detik berikutnya, Ai sudah mengeluarkan segala macam pernak-pernik. Warna-warna merah muda, fanta, ungu dan kuning seakan membuatku melihat pelangi di meja anak itu. Semua memiliki motif dan gambar kucing serupa. Selagi aku terperangah, Mamet muncul sambil bersenandung. Dia juga ikut terpana melihat bawaan Ai.

The Differences Between Us (Completed) Where stories live. Discover now