Tujuh Belas - Duduk Sama Rendah, Tegak (berdiri) Sama Tinggi

8.3K 1.3K 15
                                    

"Setiap orang punya masalah, itu pasti." – Pembimbing Anak Magang yang baru saja berusaha menyelesaikan masalah.

"Menurutku itu udah oke, Kak!" seru Ai saat aku memberi masukan untuk bentuk website yang dia bangun.

"Kamu harus tanya ke pengguna, Ai. Kalau memang bentuk ini sudah bagus, ya nggak apa-apa. Tapi kalau masih ada yang bisa ditingkatkan, pasti hasilnya lebih baik saat presentasi di kuartal tiga nanti."

Semakin lama bergaul dengan para anak magang, aku mengganti sapaan saya-kamu menjadi aku-kamu. Mereka memang masih ajaib pemikirannya, seperti Mamet yang tiba-tiba memiliki ide untuk mendatangkan mesin kopi otomatis yang pembayarannya bisa menggunakan e-wallet. Mamet bahkan mendatangi manajer Human Capital untuk menyampaikan aspirasinya dan membuat sang manajer terkaget-kaget.

Balik lagi ke Ai yang baru saja mendapat masukan dariku untuk tampilan website, mengelus dagunya sambil berpikir. Dia menimbang-nimbang lalu mengangguk. Aku menghela napas, lalu melanjutkan pengecekan proses kerja project milik Mamet.

"Aku masih mikir kalau kita perlu mesin kopi otomatis, Kak. Kita kan jadi nggak perlu turun ke gedung bawah buat beli kopi." Rupanya anak cerewet ini masih belum terima usulannya dianggap angin lalu.

"Kita udah punya mesin kopi, Met. Itu ada di pantry. Pakai saja yang ada, gimana?" tawarku. Bukan untuk berbaik hati, tapi untuk menyelamatkan sisa-sisa kewarasanku.

"Itu cuma bisa buat kopi pahit. Aku kan maunya juga bisa ada green tea, caramel machiato, chocolate ... Aduh!" Kata-kata Mamet terpotong saat DJ melemparkan green tea saset.

"Lo berisik, Met! Green tea, green tea .... Tuh! Gue kasih saset. Gue lagi konsentrasi ini buat masukin data ke project." Dahi DJ terlipat dan bibirnya membentuk garis lurus.

Belakangan ini DJ memang terlihat lebih gelisah dan sumbu kesabarannya memendek. Ada sesuatu yang membuatnya tidak konsentrasi terhadap tugas maupun project-nya. Mamet yang baru saja terkena semburan omelan DJ langsung terdiam. Dia mengangguk sambil mencatat masukan-masukan yang kuberikan.

"Kak, itu DJ tolong dijinakkin, ya?" Mata Mamet membesar saat memohon padaku di akhir sesi. Sebagai anak yang paling berisik di dalam ruangan, beberapa hari ini Mamet menjadi sasaran amukan DJ. Sebenarnya diam-diam aku geli saat melihat Mamet yang selalu terdiam kalau DJ marah.

"Kamu kenapa nggak pernah balas, Met?" tanyaku ingin tahu.

"Bukan nggak mau, Kak. DJ itu kan yang paling waras di antara kami bertiga. Kalau dia bertingkah seperti ini, pasti ada alasannya. Aku nggak mau bertengkar hanya karena dia sedang PMS."

Awalnya aku terkagum-kagum dengan pemikiran Mamet. Sepertinya dia sudah semakin dewasa tapi aku langsung tertawa mendengar ucapan Mamet yang mengatakan DJ sedang PMS atau premenstruation syndrome, yang biasanya mempengaruhi perubahan suasana hati perempuan. Mendengar suara tawaku, DJ menoleh. Sekilas aku melihat kalau anak itu seperti ingin bertanya apa yang sedang kami tanyakan. Namun setelah dua detik, dia hanya mendengkus sambil memalingkan wajah. Rasanya aku memang harus bicara dengan DJ.

"DJ, untuk sesi konsultasi kamu, boleh di ruang rapat kecil? Mungkin kamu bisa lebih konsentrasi di sana." Aku memberikan saran pada DJ yang langsung menyetujui.

Kami berjalan dalam diam menuju ruang rapat kecil untuk empat sampai lima orang. Sebelumnya, aku sempat meminta tolong pada office boy untuk membelikan kopi. Kuperhatikan, DJ terlihat lebih gelisah di ruangan ini.

"Aku tahu, Kakak pasti mau menegurku, kan? Gara-gara tadi kasar sama Mamet."

Belum sempat aku bicara, DJ sudah mengeluarkan suara. Aku hanya diam, berharap dia bisa lebih terbuka. Kupertahankan gesturku untuk tidak bersikap terlalu ingin tahu supaya DJ lebih nyaman dalam bercerita

The Differences Between Us (Completed) Where stories live. Discover now