Tiga Belas - Ada Nasi Di Balik Kerak

8.6K 1.3K 48
                                    

"Keanehan adalah awal mula dari pertanda buruk." Pembimbing Anak Magang yang sedang libur membimbing.

Terminal kedatangan Bandar Udara Internasional Juanda sangat ramai. Aku harus berusaha menyamakan langkah dengan teman-teman kantor supaya tidak tertinggal atau terbawa arus rombongan lain. Sepertinya mereka berjalan dengan kecepatan super dengan kaki-kaki panjang. Beberapa kali aku bahkan harus berlari-lari kecil supaya tidak tertinggal.

"Tim, jangan buru-buru, dong! Gila! Gue sampai ngos-ngosan gara-gara kalian jalan cepat banget." Aku menghapus bulir keringat yang muncul.

Timon, salah satu karyawan di bagian marketing yang menjadi penanggung jawab acara tertawa melihatku susah payah mengikuti mereka. Timon ini tingginya 192 sentimeter. Dibandingkan dengan dia, tinggiku yang berbeda 30 sentimeter, tentu saja seperti Hobbit dengan Gandalf.

"Makanya punya kaki jangan terlalu singkat, Cass," ujar Timon tanpa rasa bersalah.

"Eh, kupret! Lo aja yang punya kaki kayak galah. Tinggi gue kan rata-rata orang Indonesia," sungutku sambil melihat layar yang memberitahu tempat bagasi kami akan keluar.

"Capek?" tanya Baron melihatku menghapus bulir-bulir keringat sebesar biji jagung.

"Nggak!" seruku ketus. Tentu saja aku lelah! Memangnya dia tidak bisa lihat bagaimana aku harus mengatur napas dan menghapus keringat?

Conveyor belt baru saja bergerak saat kami tiba di sana. Satu persatu barang-barang bawaan penumpang keluar. Baron datang membawa dua buah troli untuk koper-koper kami. Tim yang berangkat ke Surabaya berjumlah lima orang. Kami akan dibantu oleh orang-orang cabang Surabaya dalam pelaksaan seminar dan workshop.

Setelah semua barang terambil, kami segera menuju tempat penjemputan. Di pintu kedatangan ada seorang bapak paruh baya yang membawa kertas bertuliskan La Beauté. Bapak itu dengan senyum ramah menyapa kami, memperkenalkan diri dengan nama Erman lalu sigap mengambil alih satu troli dan berjalan ke arah tempat parkir. Kami diminta untuk menunggu di sisi jalan sementara bapak itu mengambil kendaraan.

Udara sore hari menjelang malam di Sidoarjo ini terasa lembap dan gerah. Sebagian rambut keritingku yang lepas dari ikatan malah sudah menempel di tengkuk. Sambil menunggu Pak Erman, kukipas-kipas wajah dengan potongan kardus yang tertinggal di troli.

"Gerah? Udara di sini memang panas. Eh, lo capek nggak, Cass?" tanya Timon beruntun tanpa menunggu jawabanku.

"Tumben perhatian," kataku tertawa.

"Ya, nggak. Gue cuma mau ngajak makan di Soto Lamongan Cak Har. Kangen." Sudah kuduga dia baik karena ada maunya. Timon ini arek Suroboyo. Itu sebabnya dia dengan senang hati menjadi penanggung jawab acara kami. Sekalian pulang kampung katanya. Ajakan Timon tentu saja kusambut dengan senang hati.

Soto Lamongan Cak Har sangat ramai. Kata Timon di sini jarang sekali sepi. Selain enak, harganya pun relatif terjangkau. Kami memilih makan di meja dekat udara terbuka. Harum soto yang menguar membuat perut kelaparanku bergejolak.

Baru saja duduk, Pak Erman dan yang lain izin untuk ke kamar mandi atau mencuci tangan, meninggalkanku berdua dengan Baron. Laki-laki ini pendiam sekali sejak kami bertemu di Soekarno-Hatta sampai tiba. Dia bahkan hanya bicara saat bertanya apakah aku lelah.

"Lo deket sama Timon?" tanya Baron tiba-tiba.

"Hm? Oh ... iya dia kakak kelas gue di kampus. Kenapa?" Aku agak heran juga dengan tingkah Baron yang aneh hari ini. Biasanya kan dia sibuk bicara atau mencelaku habis-habisan. Mungkin karena kami sedang gencatan senjata, jadi dia lebih jinak.

"Nggak apa-apa." Baron memalingkan wajah ke arah ponsel.

Tindakan Baron membuatku ingat untuk menelepon mama. Durhaka memang aku. Begitu sampai bukannya kasih kabar, malah asik mengobrol dan membayangkan makan malam.

The Differences Between Us (Completed) Donde viven las historias. Descúbrelo ahora