Enam Belas - Angin Bersiru, Ombak Bersabung

8.1K 1.3K 24
                                    

"Membaca maksud orang lain adalah perkara paling sulit kedua setelah bangun pagi setelah maraton nonton drama korea." - Pembimbing Anak Magang yang sibuk menerka-nerka maksud orang lain.

Suasana di ruanganku sedang ramai mengalahkan pasar kaget yang sering ada di gang dekat perumahanku. Mama paling suka datang ke pasar kaget itu. Bukan untuk membeli barang melainkan melihat keramaian. Hari ini aku merasakan apa yang selama ini mama rasakan. Ternyata memang seru melihat keramaian.

Ketiga anak magang sedang membongkar oleh-oleh yang kubawa dari Surabaya. Aku memang sengaja membawakan banyak makanan karena Mamet sampai mengirimiku pesan setiap malam dengan dalih melapor pekerjaan mereka pada hari itu tapi ujung-ujungnya menagih oleh-oleh. Tentu saja, Mamet-lah yang paling semangat membongkar oleh-oleh.

"Gimana Surabaya?" tanya Ela yang ikut-ikutan membongkar oleh-oleh.

"Nggak terlalu panas," jawabku.

"Oh, ya ampun! Bukan itu pertanyaan gue." Ela malah terlihat kesal.

Aku memandang Ela dengan bingung. Bukankah dia bertanya tentang kondisi di Surabaya? Ai cekikikan saat melihatku bingung.

"Kak Cassie nggak ngerti, Kak Ela. Jangan pakai banyak kiasan kalau ngomong sama Kak Cassie. Otaknya langsung mbrudul." Anak berpipi merah itu tertawa semakin keras.

Secara refleks, kulempar boneka kecil berbentuk ikon Surabaya, ikan hiu dan buaya yang saling membelit ke arah Ai yang langsung menghindar. Boneka itu menghantam wajah Mamet dengan telak. Laki-laki dengan kadar kosakata setara dengan ibu-ibu yang hobi menawar barang dagangan di pasar itu langsung mengomel panjang kali lebar. Herannya, di tengah semua keramaian itu, DJ hanya tertawa kecil. Dia bahkan tidak bergerak sedikit pun dari kursinya.

"Maksud gue, apa yang terjadi di Surabaya antara lo dan Baron? Makin menghangat, kan?" goda Ela, mengabaikan omelan Mamet pada Ai.

"Nggak ada apa-apa, kok," gumamku sambil berusaha ikut mengabaikan Mamet dan Ai yang sekarang malah kejar-kejaran. Untunglah Pak Anwar sedang pergi dan aku sudah menutup pintu. Kalau tidak, kami semua pasti akan dipanggil masuk ke dalam ruang manajer dan mendapat hadiah membuat laporan sepanjang jalan kenangan.

Jawabanku untuk pertanyaan Ela memang tidak mengada-ngada. Setelah seminar kami memang makan malam bersama dengan seluruh tim dan tentu saja dokter Vida. Aku berusaha keras untuk tidak memperlihatkan kalau kehadiran perempuan cantik itu mengganggu. Bagaimana pun dokter itu telah menjadi narasumber yang baik. Tidak ada hal istimewa yang terjadi malam itu.

Sepanjang sisa hari dan sampai kami kembali ke Jakarta, sebisa mungkin aku tidak bersinggungan dengan Baron. Melihat gelagat Baron dan dokter Vida malam itu, sepertinya mereka akan kembali berpacaran. Aku tidak ingin mengganggu hubungan mereka dengan segala gosip yang berhembus.

"Yah, nggak seru banget, sih! Harusnya lo pakai kesempatan dinas itu." Sekarang Ela mengeluh sambil menjatuhkan tubuhnya pada kursi dengan lagak dramatis.

Para penonton yang mengharapkan acara telenovela kantoran dengan tokoh utama aku dan Baron itu menghela napas kecewa. Aku tertawa melihat wajah keempat orang yang sama-sama terlihat kecewa itu.

"Oh! Ada yang seru, sih. Ternyata narasumbernya itu mantan pacar Baron," kataku setelah beberapa saat hening dan mereka kembali membongkar oleh-oleh. Sementara Mamet bercerita tentang legenda Sura dan Baya pada DJ yang tidak peduli.

Ai langsung tersedak kacang telur yang kubawa sebagai oleh-oleh. DJ memalingkan wajah dari laptopnya dan Mamet berhenti mengoceh. Ela sendiri membelalak seolah bola matanya akan melompat keluar.

"Lo ketemu mantan dia dan masih bisa santai?" tanya Ela.

"Orangnya cantik pasti ya, Kak. Aku lihat fotonya cantik banget," gumam Mamet. Acara seminar dan workshop kemarin memang masuk ke dalam portal berita lokal alias website kantor kami.

The Differences Between Us (Completed) Where stories live. Discover now