Dua Puluh Satu - Terkalang Di Mata, Terasa Di Hati

8K 1.2K 18
                                    

"Urusan hati memang perkara yang sangat sulit." – Pembimbing Anak Magang yang belum paham.

Urusan dengan DJ dan Ai berjalan dengan lancar. Setelah bicara langsung, aku merasa telah sedikit memahami apa yang mereka pikirkan. Di awal minggu, DJ memberikan kabar kalau kondisi ayahnya sudah membaik. Kanker getah bening yang diderita ayah DJ masih dalam stadium awal sehingga masih ada peluang disembuhkan. Rasa khawatir yang sebelumnya melingkupi hati DJ berkurang sehingga tingkah lakunya kembali seperti sebelumnya.

Tinggal Mamet yang belum kuajak bicara. Anak itu sepertinya menghindariku sepagi ini. Berhubung awal minggu banyak pekerjaan yang harus diselesaikan, aku menunda bicara dengan Mamet.

"Hai, Cass. Gila! Gue capek banget," ujar Ela saat kami bertemu di luar ruang rapat. Divisi finance baru saja bersiap untuk melakukan laporan pencapaian target kuartal satu. Tugas Ela adalah melaporkan hasil audit di cabang-cabang. Pekerjaan yang cukup menyita tenaga dan pikiran.

"Hai, La. Sabar, ya? Bajaj pasti berlalu," ucapku sambil menepuk bahu Ela.

"Bercanda lo garing kaya tante-tante, Cass," gerutu Ela yang membuatku tertawa. Kami masih berbincang beberapa saat sampai tim planning datang.

"Gue dengar hubungan lo sama Baron makin membaik, ya?" bisik Ela. Kuabaikan saja pertanyaan menjebak Ela dan buru-buru masuk ke dalam ruang rapat setelah berkata akan menemuinya saat makan siang.

Agendaku hari ini adalah menyamakan strategi antara divisi strategic dan operations sebelum membawanya ke rapat besar yang melibatkan divisi marketing dan finance. Aku bertugas untuk membawakan laporan kuartal satu. Tugas yang sebelumnya diberikan oleh Pak Anwar sebagai hukuman, sangat berguna saat ini. Ditambah dengan hasil evaluasi untuk acara di Surabaya, laporanku diterima dengan baik oleh jajaran manajemen.

"Sepertinya kinerjamu semakin baik, Cassandra. Lanjutkan, ya?" Pujian dari Pak Anwar seperti pengobat segala kerja keras.

"Ini semua berkat peluang yang diberikan Bapak." Ucapanku itu bukan sekedar merendah atau ingin menjilat Pak Anwar. Jika saja saat itu aku dan Baron tidak dihukum, laporan yang kubuat tidak akan sebaik ini.

Memikirkan Baron, mataku langsung menemukan sosok dengan kemeja biru gelap yang duduk di ujung ruangan. Ada alat perekam berupa bolpoin yang diletakkan dekat Baron sementara laki-laki itu sibuk mencatat di tab yang dia bawa. Dia sangat diam hari ini. Mengingat biasanya Baron menonjol dalam setiap rapat dengan semua ide dan pandangannya yang jauh ke depan, ini terasa aneh. Itu sebabnya sebelum rapat selesai, aku mengirimkan pesan pada Baron untuk bicara dengannya setelah rapat.

"Kenapa, Cassie? Ada yang perlu dibicarakan?" Raut wajah Baron juga terlihat aneh hari ini. Dia agak pucat meskipun senyum masih terulas di wajahnya. Tinggal kami berdua di ruang rapat. Aku mendekati Baron untuk bicara padanya.

"Lo sakit? Gue lihat lo pakai perekam suara lagi. Padahal kan udah beberapa bulan ini lo baik-baik saja. Apa ada yang terjadi?" tanyaku cepat.

Baron tersenyum lembut. Aku kaget sendiri dan nyaris menutup mulut yang dengan lancangnya bertanya-tanya ini. Padahal tadinya aku berencana untuk menanyakan hal itu dengan elegan.

"Lo khawatir sama gue?" Seringai di wajah Baron berganti dengan kernyit di dahi. Sekilas dia tampak kesakitan sebelum menarik napas dan kernyit itu hilang. Namun aku sudah melihat raut wajah itu. Tidak salah lagi!

"Ng-nggak! Eh? Iya! Lo aneh hari ini dan itu mengganggu."

Suara tawa Baron terdengar. Wajah pucatnya sedikit berwarna ketika tawa itu usai. Aku sendiri masih terpana. Ternyata suara tawanya cukup menyenangkan. Aku langsung tertegun menyadari apa yang telah kupikirkan. Berusaha berpikir logis, aku tersenyum.

The Differences Between Us (Completed) Where stories live. Discover now