Dua Puluh Tujuh - Seperti Cacing Kepanasan

8.1K 1.2K 47
                                    

"Ini bukan cinta! Ini hanya sesuatu yang beda dari biasanya." - Pembimbing Anak Magang yang belum berhasil mengetahui isi hatinya sendiri.

Sepanjang sisa hari, aku bekerja dengan pikiran bercabang. Baron ternyata memang benar-benar mengajakku makan malam. Di depan Reno, pula! Aku yakin besok pasti gosip tentangku dan Baron akan tersebar bagai tanaman kering tersulut api. Untungnya rapat-rapat yang kuhadiri hanya membahas rencana-rencana yang sudah dibuat.

Pukul tiga sore, Mamet muncul di hadapanku diikuti oleh DJ dan Ai. Saat itu aku masih ada di kubikel Baron untuk membantunya mengetik laporan hasil rapat. Baron memaksaku untuk bekerja di tempatnya. Dia bilang kepalanya sakit. Aku tahu jika kepalanya sakit, dia akan kesulitan dalam menyusun kata-kata dalam laporan. Jadi aku mengalah. Kusuruh Reno kembali ke ruang operations sementara aku bekerja di ruangan Baron. Untungnya lagi, ruangan ini sepi. Hanya ada satu dua orang yang tidak peduli padaku atau Baron.

Muka ketiga anak magang terlihat lelah. Mereka mengajakku ke pantry untuk mengobrol. Herannya, Baron bersikap biasa-biasa saja terhadap mereka. Tidak ada lagi sikap aneh seperti yang ditunjukkannya di depan Reno.

Aku menatap kopi yang masih mengepul. Aroma sedap menguar dari gelas di hadapanku. Mamet menyandar pada kursi pantry sambil meluruskan kakinya. Untung bukan DJ yang bersikap seperti ini karena kaki anak itu luar biasa panjang.

"Kakak capek juga, ya?" tanya Ai.

"Iya. Baron lagi kumat, jadi aku yang pegang laporan sebelum dikirimkan ke atasan," ucapku tanpa pikir panjang.

"Apa yang kumat, Kak?"

Aku nyaris menepuk dahi karena kelepasan bicara. Ketiga anak magang menunggu jawabanku. Mamet bahkan bangkit dari posisi enaknya dan duduk dengan normal. Kuperhatikan wajah ketiganya sambil menimbang-nimbang.

"Aku nggak tahu ini rahasia atau bukan, tapi sepertinya harus Baron sendiri yang bilang. Satu hal yang pasti, aku hanya bantuin Baron hari ini. Jangan mikir yang nggak-nggak." Ucapanku ditanggapi dengan keluhan malas Mamet dan dia kembali ke posisi enaknya.

Visual dyslexia memang bukan aib. Hanya saja, ada pertimbangan-pertimbangan tertentu yang aku pikirkan. Salah satunya adalah bukan hakku untuk membicarakan apa yang Baron anggap sebagai kekurangan. Kuhirup kopi sambil memikirkan banyak hal.

"Kakak kaya banyak pikiran," cetus DJ, ikut menghirup kopinya.

"Iya. Pusing," keluhku sekenanya. Tidak sadar kalau ketiga anak magang itu saling melihat satu sama lain.

"Ternyata Kakak normal juga." DJ terkekeh geli.

"Normal gimana?" tanyaku bingung.

"Kakak selalu terlihat kuat dan percaya diri. Kupikir tidak ada keadaan yang akan membuat kakak kacau. Ternyata ancaman kondisi pandemi ini bisa bikin kakak kacau juga."

Giliranku yang tertawa. Mereka selalu memandangku tinggi. Padahal aku juga manusia normal, hanya saja sebagai atasan aku memang tidak pernah menunjukkan kegamangan dalam bekerja. Mereka harus melihatku bekerja dengan percaya diri untuk bisa bekerja dengan baik pula. Apa jadinya jika mereka melihat atasan terus mengeluh atau mengaduh. Pasti mereka akan mengalami penurunan motivasi.

"Jadi kenapa Kakak pusing?" tanya Mamet.

Mulutku terbuka lalu langsung menutup. Aku tidak bisa bilang kalau pusing dengan tingkah laku Baron yang aneh. Ditambah lagi laki-laki bermata Hershey itu mengajakku keluar malam ini. Kalau saja aku tidak melihat kalender Baron, pasti aku akan menganggap malam ini sebagai hal biasa saja. Namun sekarang aku malah terserang hal yang memusingkan.

"Kapan Kak Baron ngajak date?" tanya Ai.

"Nanti malam," jawabku tanpa sadar.

"Eh?" Aku baru sadar akan pertanyaan Ai saat mereka bertiga tertawa dengan kencang. Kupejamkan mata saat Mamet menepuk meja sambil terbahak. Sial! Seharusnya aku tetap mawas diri.

The Differences Between Us (Completed) Onde as histórias ganham vida. Descobre agora