Dua Puluh Empat - Pikir Itu Pelita Hati

8.4K 1.2K 7
                                    

"Rencana yang baik adalah rencana yang dipikirkan masak-masak." - Pembimbing Anak Magang yang berusaha sebaik mungkin dalam bekerja.

Sekitar dua puluh orang panitia berkumpul di ruang rapat besar. Agenda kami hari ini adalah membuat rencana acara ulang tahun perusahaan. DJ sedang asyik membuat kapal-kapalan kertas. Sementara untuk mencegah Mamet banyak bicara, aku menyogoknya dengan sepaket color point silkworm yarn, benang cantik berbintik-bintik yang diincar Mamet untuk membuat rajutan.

"Jadi kalian ada saran untuk acara ulang tahun?" tanya Hadi dari Human Capital yang menjadi ketua panitia.

"Mungkin sebaiknya kita berjaga-jaga untuk membuat dua konsep acara. Jika pandemi meletus, kita bisa mengadakan acara ulang tahun secara online," usulku.

"Itu akan terlalu banyak menyita waktu, Cassandra." Panitia yang lain menolak usulku.

Mamet memberikan ide untuk mengadakan amal jadi setiap pelanggan dan karyawan bisa berpartisipasi dalam amal ini yang nantinya angka di paling belakang akan digenapkan sehingga sesuai dengan jumlah tahun perusahaan, yaitu dua puluh lima. Usulan Mamet langsung diterima karena sesuai dengan tema acara yaitu keindahan dan kecantikan dari dalam.

Amal akan mencerminkan kebaikan hati para donatur, kerelaan berbagi dengan sesama yang menjadi salah satu poin dalam kecantikan dari dalam. Acara standar lainnya seperti workshop, beauty clinic dan seminar juga tetap diadakan. Kami membahas semua detail seperti tempat sampai dengan pembicara. Timon mengusulkan supaya dokter Vida bisa menjadi pembicara kami lagi. Aku setuju karena pembawaan dokter Vida dalam membahas kesehatan kulit sangat menyenangkan.

"Kok lo setuju kalau dia jadi pembicaranya, sih?" protes Ela pelan. Dia masuk ke dalam jajaran panitia jadi kami bisa bersama-sama sepanjang persiapan acara.

"Memang dia bagus, La. Kita kan harus profesional." Mataku tetap lurus ke depan.

Dahi Ela berkerut dalam. Dia menghela napas melihatku tidak peduli.

"Nanti kalau Baron cinta lama bersemi kembali, gimana?" tanya Ela lagi.

"Duh! Gue sama Baron kan nggak ada hubungan apa-apa, La. Udah, ah!" Aku kembali memusatkan perhatian pada rapat yang cukup panjang ini. Menyatukan pendapat dari banyak orang membutuhkan ekstra tenaga dan waktu. Belum lagi kalau ada perdebatan yang cukup sengit, waktu yang terbuang pun semakin panjang.

Aku dan para anak magang yang masuk ke dalam seksi acara bahkan masih membicarakan hal teknis acara setelah rapat selesai. Aku masih berpendapat kalau rencana cadangan tetap diperlukan. Sementara Mamet menolak mentah-mentah pendapatku.

Kami berdebat dengan nada yang berbeda dengan beberapa minggu lalu. Mungkin karena pendekatan perorangan yang kulakukan bisa menumbuhkan rasa respek satu sama lain. Baru kali ini kami bisa berdebat tanpa perlu bertengkar.

"Tapi, Met ... kita tetap perlu rencana cadangan. Kondisi yang ada sekarang penuh ketidakpastian," kataku lagi. Dampak dari penyebaran virus sudah mulai terlihat. Beberapa negara sudah menutup perbatasan dan meniadakan penerbangan.

"Tadi kan udah ditolak sama Mas Hadi. Udah, dong! Mikirin yang ini saja pusing. Apalagi kalau harus buat rencana cadangan," ketus Mamet.

"Tapi menurut gue perlu, sih."

Kami semua menoleh ke arah sosok laki-laki yang bersandar dengan santai di ambang pintu. Aku mendengkus, tidak peduli kalau dia baru saja mendukungku. Di ruang rapat tadi, Baron adalah salah satu orang yang juga menentang rencana cadanganku. Buat apa dia ada di sini dan tiba-tiba mengucapkan hal itu?

"Kenapa tiba-tiba berubah pikiran?" tanyaku ingin tahu sambil berdiri dan melipat tangan di dada. Mata Baron menyipit saat melihat gesturku tetapi dia tidak protes dan mengangkat ponselnya.

The Differences Between Us (Completed) Where stories live. Discover now