Dua Puluh - Cencaru Makan Pedang

8.1K 1.2K 14
                                    

"Biar lambat asal selamat. Biar terlambat, asal ada usaha untuk memperbaiki." Pembimbing Anak Magang yang berbahagia.

Kata siapa bicara itu gampang? Aku sudah menghabiskan waktu dua puluh menit bersama dengan Ai tapi tidak ada satu pun kata yang keluar dari bibirku. Lagipula mungkin gadis ini terkejut melihatku tiba-tiba muncul di rumahnya pada akhir pekan.

Aku memutuskan untuk bicara pada Ai pada akhir pekan supaya lebih santai. Beberapa hari terakhir, Pak Anwar meminta para anak magang untuk berkeliling ke cabang-cabang sebagai bahan studi pembuatan project supaya lebih relevan. Hal ini yang membuatku tidak bertemu dengan mereka bertiga selama beberapa hari.

"Diminum, Kak." Ai menyilakan aku untuk meminum teh manis hangat yang dia hidangkan.

Rumah Ai tidak terlalu besar tapi cukup nyaman dan bersih. Ada beberapa foto dalam pigura yang dipajang di dinding. Namun ada satu keanehan yang menggelitik rasa ingin tahuku.

"Kamu di rumah sendiri?" tanyaku heran. Kalau di rumahku, setiap akhir pekan ada suara televisi menyala. Apalagi kalau ada Kak Ola dan suaminya, mereka akan menyalakan televisi lalu mengobrol dengan mama. Katanya biar suasana makin ramai.

"Nggak. Bapak lagi di kamar kerjanya, meningkatkan sistem keamanan database untuk kantor client-nya. Kakakku juga lagi di kamar. Biasa deh, main game sama teman-temannya." Ai mengangkat bahu seolah sepi ini sudah biasa.

Aku tahu kalau orang dalam keluarga Ai semuanya memiliki otak encer. Mereka mengetik bahasa pemrograman seakan itu adalah air yang diminum. Aku melihat sendiri bagaimana Ai membangun website dengan kecepatan mengetik tanpa melirik contekan bahasa pemrograman.

Ai memperhatikanku yang sedang mengamati foto-foto di dinding. Ada beberapa yang sepertinya diturunkan. Terlihat bekas putih berbentuk persegi di antara cat tembok yang mulai berubah warna.

"Bapak menurunkan frame foto Ibu di tahun kesepuluh ibu pergi. Bapak masih patah hati dan sepertinya nggak akan pernah sembuh."

Aku tertegun mendengar ucapan Ai. Dia terdengar santai tetapi aku bisa menangkap getaran dalam suaranya. Ai menyeruput teh manis hangatnya. Kuikuti jejak gadis itu dan mulai menyeruput teh manis hangat beraroma melati.

"Kamu yang mengurus rumah?" tanyaku pelan.

Lagi-lagi aku tertegun saat Ai mengangguk lalu bercerita kalau dia menghabiskan masa kecilnya dengan mengurus rumah di waktu luang. Dia bahkan bisa memasak di usia tujuh tahun, meskipun baru masakan sederhana.

"Ibu pergi meninggalkan rumah entah ke mana saat aku usia empat tahun. Tiga tahun pertama, Bapak memperkerjakan asisten rumah tangga yang berganti-ganti begitu sering seperti ganti pakaian. Akhirnya waktu asisten rumah tangga terakhir ketahuan mencuri, Bapak memutuskan untuk mengurus rumah sendiri."

Aku menahan diri untuk tidak berbicara. Mungkin Ai akhirnya akan terbuka padaku di momen ini. Gadis itu memutar cangkir tehnya sebelum kembali menyesap. Kuikuti jejak Ai untuk membuatnya semakin nyaman. Dari internet aku mengetahui teknik itu bernama mirroring, suatu metode dalam percakapan untuk menunjukkan ketertarikan atau kedekatan dengan lawan bicara. Teknik itu berhasil! Ai menghela napas lalu melanjutkan ceritanya.

"Tapi kakak tahulah kalau kebanyakan laki-laki kurang bisa bekerja secara multitasking. Pekerjaan Bapak berantakan, kakak juga sebelas dua belas dengan Bapak jadi aku yang mengurus rumah."

Kubayangkan Ai kecil mondar-mandir di rumah ini. Menyapu, mengepel, memasak dan mencuci pakaian. Gadis semuda ini, ditempa oleh cobaan yang cukup berat. Dia kehilangan masa bermain saat kecil karena harus mengurus rumah, kehilangan kasih sayang seorang Ibu. Mendadak aku mengerti kenapa Ai selalu berkata tajam. Dia sedang melindungi dirinya dari rasa keterikatan. Ai takut untuk dekat dengan seseorang yang kemudian akan berlalu meninggalkannya seolah dia tidak berharga. Mataku berkaca-kaca sementara gadis berpipi merah di hadapanku tersenyum lembut.

The Differences Between Us (Completed) Where stories live. Discover now